Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja melalui mekanisme omnibus lawmenjadi potret nyata bagaimana kekuasaan bekerja dalam sistem legislasiIndonesia. Alih-alih mewujudkan cita-cita keadilan sosial sebagaimanadiamanatkan dalam konstitusi, proses legislasi ini justru menunjukkan dominasikekuatan oligarki perpaduan elite politik dan elite ekonomi dalam menentukanarah kebijakan nasional. Dalam lanskap demokrasi prosedural yang belumsepenuhnya matang, UU Cipta Kerja menjadi bukti bagaimana instrumen hukum bisadimanfaatkan untuk mengakomodasi kepentingan segelintir pihak, denganmengorbankan hak-hak kelompok rentan.
Proses pembentukan undang-undang ini sarat kontroversi. Mulai daripenyusunan yang tertutup, pembahasan kilat di parlemen, minimnya partisipasipublik yang bermakna, hingga sikap represif terhadap kelompok masyarakat yangmenyuarakan kritik. Mahkamah Konstitusi pun akhirnya menyatakan UU ini sebagaiinkonstitusional bersyarat karena cacat formil. Namun, alih-alih memperbaikiprosedur legislasi secara substantif, pemerintah justru mengesahkan kembali UUini melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebuahlangkah politik yang menuai kritik karena mengabaikan semangat checks andbalances. Langkah ini menggambarkan betapa negara lebih berpihak pada logikaekonomi neoliberal ketimbang perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya.
Negara sebagai Alat Kelas Dominan
Dari kacamata teori konflik Karl Marx, UU Cipta Kerja merupakancerminan nyata dominasi kelas borjuis atas proletar. Negara dan hukumdiposisikan bukan sebagai entitas netral, melainkan alat untuk melanggengkankekuasaan pemilik modal. Ketentuan dalam UU ini seperti perluasan sistem outsourcing,penghapusan upah minimum sektoral, dan fleksibilitas tenaga kerja lebihmenguntungkan pengusaha besar dibanding melindungi hak-hak pekerja. Hal inimenandai adanya eksploitasi struktural yang dilegalkan oleh negara. Gelombangprotes dari buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil mencerminkan munculnyakesadaran kelas, yaitu bahwa kebijakan ini bukan lagi sekadar perdebatan teknishukum, melainkan pertarungan politik antara yang berkuasa dan yang tertindas.
Perspektif Keadilan Sosial John Rawls
Jika dianalisis melalui lensa keadilan sosial John Rawls, UU CiptaKerja juga gagal memenuhi prinsip-prinsip dasar keadilan. Pertama, prinsipkebebasan dasar dilanggar karena proses legislasi tidak melibatkan partisipasipublik secara bermakna dan justru mengkriminalisasi suara-suara kritis. Kedua,dalam prinsip veil of ignorance, seharusnya kebijakan dibuat tanpa mengetahuiposisi sosial masing-masing, agar menghasilkan aturan yang adil bagi semua.Namun, UU ini justru dirancang oleh pihak-pihak yang telah berada di puncakkekuasaan dan tak merasakan langsung dampaknya. Ketiga, dalam prinsipkesetaraan dan perbedaan, ketimpangan hanya dibenarkan jika menguntungkankelompok yang paling lemah. Namun dalam kenyataannya, justru kelompok rentanseperti buruh dan masyarakat adat yang paling dirugikan, sementara pengusahabesar menikmati berbagai kemudahan.
Krisis Demokrasi: Deliberatif, Partisipatif, dan Konstitusional
Dari sudut pandang teori demokrasi, UU ini mencerminkan pelanggaranserius terhadap tiga prinsip utama demokrasi: deliberatif, partisipatif, dankonstitusional. Dalam demokrasi deliberatif menurut Habermas, sebuahundang-undang harus lahir dari diskusi publik yang rasional dan inklusif. Namundalam pembentukan UU Cipta Kerja, proses ini nyaris absen. Publik tidakdilibatkan secara setara, dan forum-forum konsultasi bersifat formalitasbelaka. Dalam demokrasi partisipatif seperti yang dikemukakan Carole Pateman,warga negara seharusnya terlibat langsung dalam pengambilan keputusan.Kenyataannya, buruh dan masyarakat sipil justru dimarginalkan dari prosespembentukan kebijakan. Bahkan, pasal-pasal yang menyangkut hak-hak merekadisusun tanpa dialog substantif. Dalam perspektif demokrasi konstitusional alaBruce Ackerman, negara seharusnya bertindak berdasarkan hukum dan menjaminhak-hak warga melalui mekanisme checks and balances. Namun Mahkamah Konstitusisendiri menyatakan UU ini cacat secara hukum, memperlihatkan lemahnya kepatuhanterhadap prinsip konstitusionalisme.
Pada akhirnya, UU Cipta Kerja bukan hanya soal teknisketenagakerjaan atau investasi. Ia adalah refleksi dari relasi kekuasaan yangtimpang dalam sistem politik Indonesia. Ketika proses legislasi disusun olehelite dan untuk kepentingan elite, maka rakyat kehilangan ruang untuk didengardan dilindungi. UU ini menjadi simbol kegagalan negara dalam menjalankanfungsinya sebagai representasi publik. Efisiensi ekonomi tidak boleh dibayardengan pengabaian terhadap keadilan sosial dan prinsip demokrasi. Ke depan,perumusan kebijakan seharusnya tidak hanya berpijak pada logika pasar, tetapijuga menjamin partisipasi luas, perlindungan terhadap kelompok rentan, dankeadilan yang merata bagi semua lapisan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI