Mohon tunggu...
Alief Mahmudi
Alief Mahmudi Mohon Tunggu... -

Sastrawan,\r\nManager Produksi Penerbit Galuh Patria Group dan Penerbit IDEKATA Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tujuh Luka di Kepala Ayah

6 Maret 2012   12:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:26 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tujuh Luka di Kepala Ayah

Cerpen Alief Mahmudi

Kuhitung ada tujuh luka di kepala ayahku. Darah kental mengalir. Kain kafan yang menutupinya  merah dan anyir.

Disamping tubuhnya, dua adik perempuanku tak berhenti menangis sejak kemarin. Ibuku tidak sadarkan diri. Ia koma semenjak senja hari beberapa tetangga mengantarkan seonggok jasad yang tak bisa kukenali lagi wajahnya.

“Ini sudah hampir siang, cepat buat tindakan.” Adikku yang pertama merengek. Kupandang matanya yang basah. Namun seketika itu ia berpaling menjauh. Seakan mengerti jawaban apa yang akan kusampaikan.

“Apa sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan?” adikku yang kedua terbata-bata. Aku tetap diam. Hanya memandang matanya.

Dan waktu pun berjalan. Tangis yang tak putus-putunya menggema membawa udara menjadi semakin gerah. Hanya ada empat orang di rumahku; dua adik perempuanku yang menangis, aku, dan Barrock Najib sepupuku. Sepupuku ini terlalu nekat datang kemari. Entah apa yang akan terjadi nantinya pada anak muda itu. Ia satu-satunya anak Desa yang berani datang. Padahal jelas-jelas Sampamama* melarang semua orang Desa mendatangi kematian ayahku.

“Bagaimana ini?” Najib ganti berbisik. Kulihat wajahnya menyorotkan kecemasan yang tak dibuat-buat.

“Akan kuusahakan,” ucapku pendek, seketika berjalan keluar menuju rumah adat.

Rumah itu adalah jajaran kayu hutan yang disusun berbentuk balok-balok tanpa ada semacam paku atau benda apapun yang berfungsi sama denganya. Semua susunan kayu itu dieratkan dengan tali yang dipilin dari akar-akaran tertentu. Memasuki halaman rumah berbentuk kubus itu, tercium asap kelembak menyan disertai suara batuk-batuk lelaki dari dalam. Nampak lelaki yang rambutnya telah putih itu mengetahui kedatanganku. Ia membuka pintu depan dan mengintipku dari dalam. Sejenak kemudian aku dan lelaki itu pun telah duduk berhadap-hadapan.

“Apa yang ingin kau sampaikan?”

“Saya ingin diadakan pertemuan adat kembali.”

“Fuhh,” seketika sambutan tak hormat dilontarkan. Lelaki itu membuang asapnya. Hidungku sesak aroma tembakau bercampur kemenyan. “Seandainya dari dulu Daeng Tulu’u mau minta maaf dan kembali ke tatanan adat, tentu tak begini jadinya.”

“Ia sekarang telah menjadi mayat, apakah hukuman pengucilan itu masih berlaku?” kataku mengiba.

“Masih!” potongnya cepat. “Nama ayahmu telah tercatat di lembaran Ron, itu artinya tidak bisa dihapuskan.”

“Tapi ia telah menebus kesalahannya.”

“Menebus kesalahan yang mana?”

“Ia telah mati ditikam orang.”

“Itu kesalahannya sendiri! Ia mati karena mencoba melawan ketentuan. Semua orang suku tahu, siapa ayahmu, penyebar ajaran busuk itu.”

“Ia bukan penyebar ajaran busuk!”

“Lalu apa namanya?” lelaki itu membuang mukanya. “Di Desa ini tidak pernah ada orang yang menentang keputusan-keputusan adat. Tapi dari dulu, bahkan sebelum kau lahir, ia telah mengobrak-abrik tatanan. Kau ingat waktu Pan Sardi mati? Ayahmu mati-matian membela jandanya yang tidak bisa membayar hutang ke rumah adat. Padahal semua orang tahu, siapa pun yang tidak dapat membayar hutang kepada adat, maka harus dikeluarkan dari tanah ini.”

“Tapi siapa pun tahu, rumah adat ini hanyalah sarang lintah darat. Hanya itu yang dilawan ayahku.”

“Keluar! Tak ada yang membutuhkanmu di sini. Cuihh.”

“Lantas…”

“Tak ada pemakaman untuk penghianat!”

“Baik. Aku pun bisa memakamkan ayahku sendiri.”

“Kau anak kota. Bukan anak sini. Kau hanya datang ke tanah ini karena ayahmu mati. Kau tidak berhak mengatur tatanan adat. Kau bukan orang adat, seperti juga ayahmu.”

“Baiklah.”

“Pergi!”

***

Malam pun datang. Mendung menggulung-gulung tanpa hujan. Hanya membawa hawa pengap yang penuh.

Di rumahku keadaan belum berubah. Seonggok mayat penuh luka masih tergeletak di tempatnya. Dua adik perempuanku tidak terdengar suaranya, mungkin telah tertidur. Hampir dua hari mereka menangis tanpa berhenti. Tentu itu membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Di ruangan yang tiba-tiba terasa hampa itu, aku pun terpekur.

Nyala lampu minyak kecil di atas kepala ayahku bergoyang-goyang dimainkan angin. Ujung nyala api itu berwarna kuning, dan kemudian menjadi hitam di ujungnya. Tiga lampu lainnya yang di pasang di samping kanan-kiri dan bawah kaki kulihat juga bernasib sama. Lampu minyak itu hanya seperti hiasan di bawah lampu neon yang terang. Beberapa saat kemudian, lampu yang dikepala mati kehabisan minyak. Aku mengambilnya dan kembali mengisinya. Namun ketika aku bangkit, tiba-tiba dua adikku telah berada di belakangku. Keduanya memakai pakaian terbagusnya, seakan-akan ingin pegi berpesta. Aku terhenyak.

“Kak, kenapa Ayah menjadi seperti ini, ya?” ucap adikku yang pertama lembut, menyungging senyum yang dingin. Matanya memandang anggun jasad ayahku. Wajahnya putih, seakan semua kesedihan yang ditumpahkan dalam tangis-tangisnya tak pernah ada, seakan ia tak punya kesedihan lagi untuk ditunjukkan.

Dengan tetap berdiri seperti patung, aku memandang keduanya dengan hati yang disesaki rasa heran. Gilakah mereka?

“Padahal ia orang yang baik, kan?” ucapnya lagi, sembari perlahan duduk di samping mayat ayah dan dengan tenang membuka kafannya.

Aku kembali terhenyak. Sejurus dengan itu aku terpaku melihat yang dilakukan adikku. “A..appa yang ka..u lakukan?”

“Tenanglah, Kak.” Adikku yang kedua menyilangkan tangannya di depanku. Ia memandangku dengan tenang dan dingin, aku hampir tak mengenal siapa dua perempuan yang ada di depanku itu.

“Ayah kita orang yang sangat penyabar, Kak.” Adikku yang pertama melanjutkan bicaranya. Perlahan sekali. Ia memandangi langit-langit, seakan memetik sesuatu yang bersinar dengan matanya. Lalu kembali menatap wajah ayahku yang pucat.

“Ketika kita masih kecil, kita hampir tak pernah merasakan kekerasan yang datang darinya.” Ia mengeluskan tangannya, lalu kembali diam. Adikku yang kedua berjalan memutar, ia duduk di sisi ayah di seberang adikku yang pertama. Seperti dua putri kembar, keduanya lalu meletakkan tangannya di masing-masing sisi pipi Ayah.

“Dulu pernah suatu ketika kita membuat kesalahan.” Kata Adikku yang kedua dengan pelan. “Kakak masih ingat, kan, apa yang dikatakan ayah: ‘Ayah tidak mungkin memintamu untuk tidak pernah berbuat salah, tapi Ayah selalu memintamu untuk belajar dari kesalahan,’ katanya dengan sabar. Kakak Masih ingat kata-kata itu kan?” ia mengalihkan pandangannya ke mataku. Aku kembali tersentak. Sekali lagi itu bukan mata yang kukenal. Aku mengangguk kaku.

“Kakak juga masih ingat, kan, bagaimana Ayah mengajari kita?” kini ganti adik pertamaku yang bicara.

“Ayah tak pernah memberi kita aturan. Kita sendiri yang disuruh membuat aturan, ‘Agar kalian bertindak dewasa dan bertanggungjawab’, katanya.”

Sekali lagi aku hanya bisa mengangguk bisu.

Keheningan lalu menguasai untuk beberapa saat lamanya. Kedua adik perempuanku mematung dengan masing-masing tangannya melekat pada pipi Ayahku. Entah apa yang mereka pikirkan. Sesungging senyum masih menggantung di bibir keduanya. Tapi tak ada yang dapat kupahami dari senyum itu, kecuali sesuatu yang beku. Mati.

Dan waktu berdetak menjenguk malam yang kian memanjang. Melihat tingkah dua adik perempuanku dinding-dinding rumah serasa gemeretak luruh menjadi bongkahan-bongkahan batu. Gilakah mereka? Dingin menyusup ke tulang. Namun dingin itu tak sebanding dengan mata dua adik perempuanku yang seperti dua gugusan gunung es. Dingin. Mati.

Angin datang sekilas menerabas jendela yang setengah terbuka. Lampu minyak di atas kepala ayah bergoyang-goyang, seakan mengejar tujuh luka menganga yang kini begitu jelas setelah kafannya terbuka. Jemari adikku yang pertama meraba-raba kulit kepala Ayah yang di beberapa titik menegelupas serupa kulit pohon terkena sabetan kapak. Cairan merah bercampur putih yang kental Nampak lengket di ujung jemari-jemarinya.

“Apa yang Kakak pikirkan sekarang?” pertanyaan adikku yang pertama itu menusuk begitu saja. Aku gelagapan, beberapa saat terdiam tak mengerti harus menjawab apa. Kedua adikku memandang seakan menunggu jawabanku.

“Kakak tidak menjawab.” Kejar adikku yang kedua. “Kenapa adat menghukum orang baik seperti ayah?” Aku semakin terperangah. Tak ada kata.

“Baiklah.” Kata yang pertama. Tangannya kemudian menunjuk bunga melati yang berserak di meja. “Ambilkan itu,” pintanya pada adikku yang kedua. Adikku yang pertama itu pun mulai memilih dan menggenggam beberapa kuntum bunga. Ia memilin-milin tangkainya, sembari menunjukan air muka ceria, namun tetap pucat dan dingin. Bibirnya bergerak seperti bernyanyi. Tapi tak ada lagu yang sampai di telinga kecuali dengungan pahit.

“Biar Ayah kembali tersenyum, akan aku tanam melati ini di kepalanya.” Gumamnya seperti anak kecil, sambil mulai menyelipkan kelopak-kelopak bunga itu di lobang-lobang luka.

“Kelak kalau sudah tumbuh, nanti kita akan bersama akan memetik melati ini dengan Ayah di surga.” Celotehnya, sembari melengokkan matanya yang berubah polos padaku dan adikku yang kedua. Kedua adikku tersenyum. Aku semakin terhenyak. Tak ada yang kumengerti dari kejadian ini. Keduanya pun kemudian meletakkan kelopak demi kelopak melati di lobang luka di kepala Ayah. Waktu lalu kurasakan berhenti.

Aku tak dapat merasakan apa-apa melihat yang dilakukan mereka berdua. Aliran bening tak dapat kutahan dari mata ketika kulihat sambil menghitung, Adikku yang pertama meletakkan kuntum melati di lobang-lobang itu.

“Ada tujuh luka,” katanya. “Nanti kita akan memetiknya di surga.”

Mabes Bermutu, 3 Januari 2012.

*)Alief Mahmudi. Tinggal Di Sanggar Kutub.

Manager Produksi Penerbit IDEKATA Yogyakarta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun