Ia menutup dengan refleksi mendalam: bahwa manusia modern sering kali miskin bukan karena kekurangan harta, tetapi karena kehilangan syukur. Dan lembaga seperti Al-Zaytun hadir untuk mengembalikan kesadaran itu---bahwa ilmu, iman, dan akal adalah tiga pilar peradaban yang harus tumbuh bersama.
Epilog: Dari Aliran Air Menuju Aliran Cahaya
Siang itu, suasana Aula Rahmatan lil 'Alamin dipenuhi keteduhan. Ucapan Prof. Aswandi Idris terasa seperti aliran air yang menyejukkan hati dan menumbuhkan semangat. Ia tidak sekadar berbicara tentang hidrologi, tetapi tentang kehidupan. Ia tidak hanya menyinggung soal teknologi, tetapi tentang bagaimana manusia seharusnya tunduk kepada hukum Allah.
"Indonesia bukan miskin," katanya menutup, "manusianya saja yang lupa bersyukur." Kalimat itu menjadi pengingat bahwa sumber daya terbesar bangsa ini bukan terletak pada alamnya, tetapi pada akal dan iman manusianya.
Bagi Prof. Aswandi, Al-Zaytun telah menempuh jalan panjang untuk membuktikan hal itu. Dari tanah yang gersang kini mengalir sungai ilmu dan amal. Dari pesantren yang dicibir kini tumbuh taman peradaban. Dan dari setiap tetes air yang dikelola dengan ilmu dan iman, tumbuhlah generasi yang siap menjemput masa depan Indonesia Emas 2045.
Merdeka!
Sebab kemerdekaan sejati bukan hanya lepas dari penjajahan, tetapi bebas dari kebodohan dan keraguan terhadap kebenaran. Di Al-Zaytun, kemerdekaan itu tumbuh---mengalir setetes demi setetes, menyuburkan tanah, menumbuhkan ilmu, dan menerangi peradaban.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI