4. Aman dalam Perspektif Filsafat dan Moral
Dalam ranah filsafat, keamanan memiliki makna lebih dalam. Friedrich Nietzsche dalam Beyond Good and Evil (1886) menulis bahwa manusia modern sering merasa "aman dalam ketakutan, bukan dalam kebebasan." Ia mengkritik masyarakat yang menukar kebebasan moral dengan kenyamanan semu.
Kuntowijoyo (1991) dalam Islam sebagai Ilmu juga menegaskan bahwa masyarakat aman adalah masyarakat yang menempatkanÂ
nilai-nilai transendental di atas kepentingan material. Aman sejati bukan sekadar tidak ada kekerasan, tapi hadirnya kejujuran, rasa hormat, dan keadilan batin.
Dalam konteks moral, rasa aman tidak mungkin tumbuh di tengah ketidakjujuran. Keamanan sejati lahir dari integritas - dari pemimpin yang jujur, rakyat yang bertanggung jawab, dan budaya publik yang menghargai kebenaran. Bila setiap individu jujur, maka masyarakat aman tanpa perlu banyak pengawasan.
5. Refleksi: Dari Doa Menuju Tindakan
Negeri yang aman tidak turun begitu saja dari langit. Ia harus diperjuangkan. Doa Nabi Ibrahim bukan hanya permohonan spiritual, tetapi juga panggilan etis: agar manusia bekerja sama menciptakan kondisi aman bagi semua.
Dalam konteks kebangsaan Indonesia,
 cita-cita "negeri yang aman" adalah amanah sejarah dan tanggung jawab moral kita bersama. Aman bukan berarti diam, tetapi aktif membangun ruang keadilan. Aman bukan berarti tanpa konflik, tetapi mampu mengelola perbedaan dengan bijak.
Keamanan sejati hanya bisa lahir ketika iman dan keadilan bersatu. Iman tanpa keadilan melahirkan kemunafikan; keadilan tanpa iman melahirkan kekerasan. Maka, negeri yang aman harus berdiri di atas dua kaki: iman yang hidup dan keadilan yang tegak.
Penutup