Orientalisme dan Oksidentalisme: Pertarungan Wacana antara Timur dan Barat
Oleh: Ali Akbar Harahap, S.Kom., M.Sos.
Pernahkah kita bertanya, mengapa dunia Barat sering memandang Timur sebagai "eksotis", "terbelakang", atau "penuh misteri"?
Dan mengapa sebagian bangsa Timur merasa perlu menilai balik Barat dengan pandangan yang kritis?
Inilah medan wacana panjang antara Orientalisme dan Oksidentalisme - dua cara pandang yang saling berhadapan dalam sejarah hubungan Timur dan Barat.
Orientalisme adalah cara Barat menilai Timur; Oksidentalisme adalah cara Timur memahami dan mengkritik Barat.
Keduanya bukan sekadar teori, melainkan cermin dari perebutan makna, pengetahuan, dan kekuasaan di panggung global.
1. Orientalisme: Kuasa Pengetahuan Barat atas Timur
Istilah Orientalisme menjadi terkenal setelah karya monumental Edward W. Said, Orientalism (1978), yang mengungkap bagaimana Barat membentuk citra Timur secara tidak objektif.
Menurut Said, orientalisme bukan sekadar studi akademik, melainkan alat kekuasaan untuk mengontrol dan mengonstruksi identitas Timur melalui pandangan Barat.
Barat menggambarkan Timur sebagai dunia yang "mistik", "tidak rasional", "terbelakang", dan "statis". Pandangan ini bukan hanya membentuk opini, tetapi juga menjadi legitimasi politik bagi kolonialisme dan imperialisme.