Ziarah ke Makam Rasulullah : Menyapa Cinta yang Tak Pernah Padam
Oleh: Ali Akbar Harahap, S.Kom, M.Sos
Ziarah ke makam Rasulullah bukan sekadar perjalanan fisik menuju Madinah, melainkan perjalanan batin menuju sumber cinta dan cahaya kehidupan. Di bawah kubah hijau yang mulia, setiap langkah jamaah terasa ringan namun sarat makna. Hati bergetar, lidah berzikir, dan air mata sering kali tumpah tanpa disadari.
Bagi seorang muslim, ziarah ke makam Rasulullah adalah puncak kerinduan yang tumbuh dari kecintaan kepada sosok yang telah mengorbankan segalanya demi umatnya. Di sana, tak ada kebesaran dunia yang berarti. Yang tersisa hanyalah rasa rindu, haru, dan pengakuan bahwa segala kebaikan yang kita miliki hari ini berawal dari perjuangan beliau .
Madinah: Kota Cinta dan Keteladanan
Madinah bukan sekadar kota. Ia adalah ruang spiritual tempat Rasulullah menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan persaudaraan. Suasana damainya mengajarkan bahwa Islam bukan hanya tentang ritual, tetapi juga tentang kedamaian jiwa dan keindahan akhlak.
Ketika seseorang melangkah ke Masjid Nabawi, hatinya terasa ditarik oleh keheningan yang suci. Di Raudhah -taman surga yang di antara rumah dan mimbar Rasulullah - doa menjadi lebih lembut, air mata menjadi bahasa yang paling jujur.
Menyapa Nabi dengan Salam
Saat berdiri di hadapan makam Rasulullah, tak perlu banyak kata. Cukup ucapkan dengan hati yang tulus:
 "Assalmu 'alaika ayyuhan-nabiyyu wa rahmatullhi wa baraktuh."
Ucapan itu bukan sekadar formalitas, tapi sapaan cinta yang menembus ruang dan waktu. Sebuah pengakuan bahwa beliau tetap hidup dalam hati umatnya, meski jasadnya telah bersemayam di tanah Madinah.