Kepercayaan yang Menyambungkan Rumah dan Sekolah
Sebagai orang tua, saya tidak pernah merasa sendirian dalam mendidik anak-anak saya. Di balik pintu gerbang sekolah tempat mereka belajar setiap pagi, saya tahu ada tangan-tangan hangat yang siap memegang erat tangan mereka, bukan hanya mengajarkan angka dan huruf, tapi juga menanamkan keberanian, empati, dan rasa hormat. Dan karena itu, saya memilih untuk percaya. Percaya sepenuh hati pada sekolah.
Kepercayaan ini bukan buta. Ia lahir dari pengamatan, dari dialog, dan dari rasa saling menghargai yang tumbuh perlahan antara kami (para orang tua) dan para guru. Saya melihat bagaimana guru kelas anak saya duduk bersama murid-muridnya yang sedang kesulitan, bukan dengan marah, tapi dengan sabar menuntun mereka menemukan jawaban sendiri.
Saya menyaksikan bagaimana kepala sekolah menyapa setiap anak dengan nama mereka, bukan sekadar nomor absen. Saya mendengar cerita anak saya pulang dengan mata berbinar: "Yah, hari ini kami diajak berdiskusi soal keadilan. Guru bilang, pendapatku penting."
Di rumah, saya memasak bekal dengan tangan yang sama yang dulu diajarkan ibu saya: penuh kasih, tanpa terburu-buru. Tapi saya tahu, di sekolah, anak saya belajar hal-hal yang tak bisa saya ajarkan sendiri, cara bekerja dalam tim, cara menghargai perbedaan, cara bangkit setelah gagal. Dan saya percaya bahwa sekolah tidak hanya mengisi otak mereka, tapi juga membentuk hati mereka.
Tentu, ada hari-hari ketika saya khawatir. Saat anak pulang dengan wajah murung karena beban pelajaran yang banyak, atau saat ia bercerita tentang teman yang tak ramah. Tapi alih-alih langsung menyalahkan sistem atau guru, saya memilih duduk bersama mereka (orang tua dan anak) untuk memahami.Â
Karena saya yakin: sekolah bukan musuh, melainkan mitra. Mitra yang sama-sama ingin melihat anak saya tumbuh menjadi manusia utuh, bukan hanya lulusan dengan rapor sempurna.
Kepercayaan saya pada sekolah juga adalah bentuk penghormatan pada profesi guru, mereka yang rela bangun lebih pagi dari kami, pulang lebih malam, dan membawa pulang beban pikiran tentang murid-muridnya.
Mereka bukan mesin pencetak nilai, tapi penjaga nyala semangat belajar yang kadang hampir padam. Dan saya percaya, di tangan mereka, anak saya tidak hanya belajar, tapi juga merasa dilihat, didengar, dan dihargai.
Saya tahu, tak ada sekolah yang sempurna. Tapi saya percaya pada niat baik, pada komitmen, dan pada proses. Karena pendidikan bukan lomba cepat, melainkan perjalanan panjang yang membutuhkan sinergi: rumah yang menanam cinta, dan sekolah yang menyiramnya dengan ilmu dan karakter.