Belajar dari Dunia: Jalan Panjang yang Tak Bisa Disingkat
Indonesia sering kali terjebak dalam ilusi bahwa prestasi sepak bola bisa diraih lewat jalan pintas, ganti pelatih, naturalisasi pemain, atau beli kemenangan lewat dana besar. Padahal, negara-negara yang kini dihormati di panggung dunia justru membangun kejayaannya lewat kesabaran, sistem, dan investasi jangka panjang. Mereka tidak mencari pelatih ajaib. Mereka menciptakan fondasi yang tak goyah.
Ambil contoh Jepang. Pada 1990-an, Jepang hanyalah tim medioker di Asia. Tapi mereka punya mimpi besar: menjadi kekuatan sepak bola dunia. Alih-alih mengandalkan pemain impor, mereka memilih jalan yang lebih berat: mengirim ribuan anak muda ke sekolah-sekolah sepak bola di Eropa dan Amerika Selatan, terutama Brasil, negeri kelahiran Pele, Zico, Ronaldo, Ronaldinho, dan Neymar.
Mereka belajar filosofi, teknik, dan mentalitas juara langsung dari sumbernya. Hasilnya? Hari ini, Jepang bukan hanya langganan Piala Dunia, tapi mampu mengalahkan raksasa seperti Jerman dan Spanyol, bahkan dalam laga persahabatan beberapa hari lalu mereka mampu mengalahkan Brasil 2:3 seteleh tertinggal 2:0. Ini bukan keberuntungan. Ini buah dari 30 tahun konsistensi.
Lalu lihat Pantai Gading (Cte d'Ivoire). Negara kecil di Afrika Barat ini dulunya hanya dikenal sebagai penghasil kakao. Tapi mereka punya keunggulan: hubungan historis dengan Prancis dan Portugal, yang memungkinkan talenta muda mereka bermain di akademi Eropa sejak usia dini. Didier Drogba, Yaya Tour, dan kini Nicolas Pp, semua dibesarkan di sistem Eropa, tapi tetap memilih membela tanah kelahiran mereka.
Mereka tak malu belajar dari bekas penjajah, lalu suatu hari berdiri sejajar, bahkan mengalahkan mereka. Di Piala Dunia 2022, Pantai Gading sudah tidak lolos, tapi warisan mereka tetap hidup: generasi muda terus mengalir ke Eropa, siap meneruskan estafet.
Dan jangan lupakan Maroko. Tim yang dulu dianggap "tim penggembira" di Afrika, kini jadi satu-satunya wakil benua di semifinal Piala Dunia 2022. Rahasianya?Â
Mereka membangun pusat pelatihan nasional berstandar FIFA, merekrut pelatih asing berpengalaman seperti Walid Regragui, tapi yang paling penting: mengintegrasikan diaspora Maroko di Eropa, pemain seperti Achraf Hakimi (PSG), Sofyan Amrabat (Man United), dan Yassine Bounou (Al-Hilal), dengan identitas nasional yang kuat.Â
Mereka tak hanya bermain untuk Maroko; mereka percaya pada Maroko. Dan ketika menghadapi Spanyol di babak 16 besar, mereka menang bukan karena keberuntungan, tapi karena disiplin, taktik, dan kerja kolektif yang dibangun bertahun-tahun.
Lalu, di Mana Indonesia?
Indonesia punya populasi 270 juta, lebih besar dari Jepang (125 juta), Maroko (37 juta), atau Pantai Gading (28 juta). Kita punya potensi luar biasa: talenta alami, gairah suporter, dan sumber daya alam melimpah. Tapi kita tidak punya kesabaran.