Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Antara Ambisi Besar, Krisis Kepercayaan, dan Tantangan Tata Kelola

15 Oktober 2025   07:44 Diperbarui: 15 Oktober 2025   07:44 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: kompasiana)

Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: Antara Ambisi Besar, Krisis Kepercayaan, dan Tantangan Tata Kelola

Tak terasa, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akan genap berusia satu tahun pada 20 Oktober mendatang. Dalam kurun waktu singkat itu, pemerintah telah meluncurkan sejumlah kebijakan ambisius, dengan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai bintang utamanya. Namun, di balik narasi "Indonesia Maju" dan "Kedaulatan Pangan", muncul krisis kepercayaan publik yang serius, terutama akibat puluhan ribu kasus dugaan keracunan siswa, tata kelola yang buram, dan pertanyaan besar tentang efektivitas birokrasi.

MBG: Janji Mulia yang Tersandung di Dapur

Program Makan Bergizi Gratis digadang-gadang sebagai terobosan sejarah: menyasar 82,9 juta warga, termasuk 44 juta anak sekolah, dengan anggaran awal Rp71 triliun dan rencana ekspansi hingga Rp450 triliun per tahun. Tujuannya mulia: menurunkan stunting, meningkatkan prestasi belajar, dan memperkuat ketahanan pangan nasional.

Namun, realitas di lapangan jauh dari ideal. Sejak Januari hingga September 2025, sedikitnya 6.457 anak dilaporkan mengalami keracunan massal akibat konsumsi makanan MBG. Kasus terjadi di Cianjur, Bandung, Gunungkidul, Lamongan, hingga Sumbawa. Bukan hanya sakit perut, beberapa anak harus dirawat intensif, bahkan ada laporan kematian yang masih dalam investigasi.

Ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Gadjah Mada menyebut akar masalahnya jelas: sistem produksi terpusat melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tak menerapkan standar keamanan pangan dasar. Makanan sering dimasak malam hari, disimpan tanpa pendingin, lalu didistribusikan keesokan harinya, kondisi sempurna untuk pertumbuhan bakteri berbahaya.

"Ini bukan sekadar kelalaian logistik. Ini kegagalan sistemik dalam tata kelola," tegas Dicky Budiman, pakar epidemiologi global.

Birokrasi yang Tumpang Tindih, Tanggung Jawab yang Kabur

Salah satu kelemahan fatal MBG adalah desain kelembagaan yang tidak jelas. Badan Gizi Nasional (BGN) (lembaga baru di bawah langsung Presiden) ditunjuk sebagai pelaksana utama, sementara Kementerian Pendidikan hanya jadi "penerima manfaat". Akibatnya, sekolah dipaksa jadi dapur, guru jadi pengawas logistik, dan kepala sekolah jadi penanggung jawab keamanan pangan tanpa pelatihan, tanpa insentif memadai.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'thi, bahkan terang-terangan mengeluh: "Tugas guru adalah mendidik, bukan mengelola rantai pasok makanan."

Sementara itu, payung hukum program ini masih belum final. Hingga kini, Peraturan Presiden (Perpres) tentang MBG belum diterbitkan, sehingga pelaksanaan berjalan dalam ruang abu-abu hukum, membuka celah untuk praktik tidak transparan, bahkan korupsi.

Transparency International Indonesia (TII) memperingatkan: risiko korupsi di MBG sangat tinggi, terutama dalam pengadaan bahan pangan dan penunjukan mitra SPPG. Laporan mereka menyebut adanya indikasi konflik kepentingan, di mana mitra dipilih berdasarkan kedekatan politik, bukan kompetensi teknis.

Presiden di Luar Negeri, Wapres "Hilang Suara"

Di tengah krisis domestik, muncul narasi publik yang mengkhawatirkan: Presiden Prabowo lebih sering terlihat di forum internasional ketimbang di dapur-dapur sekolah yang bermasalah, sementara Wakil Presiden Gibran (yang notabene mantan Wali Kota Solo dengan pengalaman urusan pangan) terkesan diam.

Tak ada pernyataan keras dari Wapres menanggapi keracunan massal. Tak ada kunjungan mendadak ke sekolah korban. Tak ada koordinasi publik dengan BGN atau Kemendikbud. Padahal, sebagai wakil presiden sekaligus simbol generasi muda, Gibran seharusnya menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat, terutama orang tua yang resah melihat anaknya jatuh sakit demi "makan gratis".

Ketiadaan kepemimpinan simbolik ini memperparah krisis kepercayaan. Rakyat tidak hanya butuh program, tapi juga kehadiran empatik dari pemimpinnya.

Harapan di Tengah Kegelisahan: Menuju "School Kitchen" yang Lebih Aman

Namun, bukan semua suram. Di tengah kritik, muncul solusi yang menjanjikan. Komisi X DPR RI dan sejumlah pakar mendorong peralihan dari model SPPG terpusat ke "school kitchen" (dapur sekolah), di mana setiap sekolah mengelola dapurnya sendiri dengan bahan lokal, menu sesuai kebutuhan gizi, dan pengawasan komunitas.

Model ini lebih aman, lebih transparan, dan memberdayakan UMKM lokal. BGN tetap berperan sebagai regulator (menyusun standar gizi, memberi pelatihan, dan mengawasi) bukan sebagai operator tunggal.

Langkah ini juga sejalan dengan temuan studi: program makanan sekolah paling efektif saat dikelola secara partisipatif, dengan keterlibatan orang tua, guru, dan tokoh masyarakat.

Menuju Tahun Kedua: Reformasi atau Krisis Berulang?

Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran mengajarkan pelajaran penting: ambisi kebijakan harus diimbangi dengan kapasitas birokrasi dan komitmen pengawasan. Program sebesar MBG tidak bisa hanya diukur dari anggaran atau target jangkauan, tapi dari keselamatan, keadilan, dan akuntabilitas.

Jika pemerintah ingin mempertahankan legitimasi sosialnya, maka tiga hal mendesak harus dilakukan:

Pertama, Segera terbitkan Perpres MBG yang jelas, transparan, dan berbasis bukti ilmiah. Kedua, Alihkan ke model "school kitchen" dengan pendampingan teknis dan insentif bagi sekolah. Dan ketiga, Libatkan masyarakat sipil dan lembaga independen dalam pengawasan, bukan hanya birokrasi tertutup.

Tanpa itu, MBG (yang seharusnya jadi warisan sejarah) berisiko jadi catatan kelam dalam upaya membangun Indonesia Emas 2045.

***

Pemerintahan Prabowo-Gibran masih punya waktu untuk memperbaiki arah. Tapi rakyat tidak sabar menunggu janji tanpa aksi, apalagi jika nyawa anak-anak jadi taruhannya. Di tahun kedua, bukan lagi soal seberapa besar program yang diluncurkan, tapi seberapa tangguh sistem yang melindungi rakyat dari kesalahan pemerintah sendiri.

Karena negara yang kuat bukan yang punya anggaran besar, tapi yang punya hati untuk mendengar, dan keberanian untuk memperbaiki.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun