Di tengah krisis domestik, muncul narasi publik yang mengkhawatirkan: Presiden Prabowo lebih sering terlihat di forum internasional ketimbang di dapur-dapur sekolah yang bermasalah, sementara Wakil Presiden Gibran (yang notabene mantan Wali Kota Solo dengan pengalaman urusan pangan) terkesan diam.
Tak ada pernyataan keras dari Wapres menanggapi keracunan massal. Tak ada kunjungan mendadak ke sekolah korban. Tak ada koordinasi publik dengan BGN atau Kemendikbud. Padahal, sebagai wakil presiden sekaligus simbol generasi muda, Gibran seharusnya menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat, terutama orang tua yang resah melihat anaknya jatuh sakit demi "makan gratis".
Ketiadaan kepemimpinan simbolik ini memperparah krisis kepercayaan. Rakyat tidak hanya butuh program, tapi juga kehadiran empatik dari pemimpinnya.
Harapan di Tengah Kegelisahan: Menuju "School Kitchen" yang Lebih Aman
Namun, bukan semua suram. Di tengah kritik, muncul solusi yang menjanjikan. Komisi X DPR RI dan sejumlah pakar mendorong peralihan dari model SPPG terpusat ke "school kitchen" (dapur sekolah), di mana setiap sekolah mengelola dapurnya sendiri dengan bahan lokal, menu sesuai kebutuhan gizi, dan pengawasan komunitas.
Model ini lebih aman, lebih transparan, dan memberdayakan UMKM lokal. BGN tetap berperan sebagai regulator (menyusun standar gizi, memberi pelatihan, dan mengawasi) bukan sebagai operator tunggal.
Langkah ini juga sejalan dengan temuan studi: program makanan sekolah paling efektif saat dikelola secara partisipatif, dengan keterlibatan orang tua, guru, dan tokoh masyarakat.
Menuju Tahun Kedua: Reformasi atau Krisis Berulang?
Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran mengajarkan pelajaran penting: ambisi kebijakan harus diimbangi dengan kapasitas birokrasi dan komitmen pengawasan. Program sebesar MBG tidak bisa hanya diukur dari anggaran atau target jangkauan, tapi dari keselamatan, keadilan, dan akuntabilitas.
Jika pemerintah ingin mempertahankan legitimasi sosialnya, maka tiga hal mendesak harus dilakukan:
Pertama, Segera terbitkan Perpres MBG yang jelas, transparan, dan berbasis bukti ilmiah. Kedua, Alihkan ke model "school kitchen" dengan pendampingan teknis dan insentif bagi sekolah. Dan ketiga, Libatkan masyarakat sipil dan lembaga independen dalam pengawasan, bukan hanya birokrasi tertutup.
Tanpa itu, MBG (yang seharusnya jadi warisan sejarah) berisiko jadi catatan kelam dalam upaya membangun Indonesia Emas 2045.
***