Menanti Kehadiran Pungguk Merindukan Bulan, Ketika Gagal Menjadi Panggilan Moral
Di tengah hujan deras yang mengguyur kota, di sebuah ruangan kecil yang sunyi di lantai atas gedung PSSI, seorang petugas keamanan sedang menyapu debu dari lantai. Di sana, di meja besar berlapis kayu jati, tergeletak surat resmi yang belum dibaca. Surat itu berisi permintaan pengunduran diri dari para pejabat PSSI, setelah Indonesia gagal lolos ke Piala Dunia 2026. Namun, tak ada yang membacanya. Tak ada yang menandatangani. Tak ada yang membalas. Seperti layaknya bulan yang tersembunyi di balik awan, harapan akan kejujuran dan tanggung jawab moral pun mulai memudar.
Kita telah menantikan sesuatu yang tidak pernah datang: kejentelmenan, atau lebih tepatnya, keberanian moral. Kita menantikan ketua PSSI dan seluruh stafnya untuk mundur, bukan karena tekanan publik, bukan karena kekalahan di lapangan, tetapi karena rasa malu yang seharusnya menjadi dasar dari kepemimpinan yang bermartabat. Kita menantikan mereka untuk bertindak seperti pungguk merindukan bulan, sosok yang tahu bahwa meskipun bulan tersembunyi, ia tetap ada, dan orang yang benar-benar ingin melihatnya harus rela menunggu dalam kegelapan.
Tapi apa yang terjadi? Bukanlah keheningan, melainkan kesunyian yang penuh dengan kebohongan. PSSI, sebagai institusi yang seharusnya mewakili sepak bola Indonesia, justru menunjukkan bahwa kegagalan bukanlah akhir dari tanggung jawab, tetapi awal dari penyangkalan. Mereka tidak mundur. Mereka tidak mengakui kegagalan. Mereka hanya berbicara tentang "masih bisa bangkit", tentang "proses panjang", tentang "pemain yang masih muda". Tapi semua itu adalah kata-kata yang terdengar indah, namun kosong dari makna.
Seorang pemimpin yang memiliki hati nurani sejati tidak akan menyalahkan pelatih, tidak akan menyalahkan pemain, tidak akan menyalahkan nasib. Ia akan bertanya pada dirinya sendiri: Apa yang telah saya lakukan salah? Apakah saya sudah memberi cukup dukungan? Apakah saya sudah memberi ruang bagi proses? Dan jika jawabannya adalah ya, maka ia akan turun dengan rasa hormat. Ia akan mengundurkan diri, bukan karena dipaksa, tetapi karena ia merasa bahwa tanggung jawab moral telah selesai.
Namun, di Indonesia, hal ini sangat jarang terjadi. Di banyak lembaga, baik di pemerintahan maupun organisasi olahraga, kegagalan dianggap sebagai sesuatu yang harus ditekan, ditutupi, bahkan dikaitkan dengan keberuntungan atau keadaan eksternal. Tidak ada yang mau mengakui kegagalan. Bahkan, ketika kegagalan itu sangat jelas, seperti kegagalan Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026, yang terjadi meski dengan materi pemain yang terlihat menjanjikan, dengan pelatih yang telah bekerja keras selama lima tahun, kita masih menunggu seseorang yang berani mengatakan: "Saya gagal. Saya akan pergi."
Ini bukan sekadar soal keputusan politik. Ini adalah soal karakter. Ini adalah soal kejujuran terhadap diri sendiri. Seorang pejabat yang tidak mampu mengakui kegagalannya adalah seorang pejabat yang tidak siap memimpin. Ia hanya mampu mengatur sistem, tapi tidak mampu menghadapi realitas. Ia hanya mampu mencari kambing hitam, bukan mencari solusi.
Kita tahu bahwa di dunia internasional, banyak pemimpin yang mundur setelah kegagalan besar. Di Jepang, setelah timnas kalah di Piala Dunia 2018, pelatih Vahid Halilhodi langsung mengundurkan diri. Di Inggris, setelah kegagalan lolos ke Piala Dunia 2014, manajer Roy Hodgson juga mengundurkan diri. Di negara-negara maju, kegagalan bukanlah akhir karier, tetapi titik balik yang menghargai integritas.
Namun di Indonesia, kegagalan sering kali menjadi alat untuk memperkuat posisi. Orang yang gagal tetap diberi jabatan baru. Orang yang tidak berhasil tetap dipertahankan. Dan yang paling menyedihkan, orang yang tidak punya komitmen sama sekali tetap diperlakukan sebagai tokoh penting. Kita hidup dalam dunia di mana kegagalan tidak dihargai, tetapi disalahgunakan sebagai senjata politik.
Kita menunggu seseorang yang berani. Kita menunggu seseorang yang bisa mengatakan: "Kami gagal. Kami tidak cukup kuat. Kami tidak cukup siap. Dan karena itu, saya tidak pantas memimpin lagi." Tapi sampai hari ini, kita masih menunggu. Seperti pungguk yang merindukan bulan, kita menatap langit gelap, berharap cahaya akan muncul, padahal kita tahu bahwa bulan itu tidak akan muncul jika kita tidak berdiri di tempat yang benar.
Mungkin, yang paling menyakitkan bukanlah kegagalan itu sendiri. Tapi ketidakmampuan untuk belajar dari kegagalan. Kita terus-menerus mengulangi kesalahan yang sama: memecat pelatih tanpa evaluasi, menunjuk orang yang tidak kompeten, mengabaikan pembinaan jangka panjang. Kita terus-menerus membangun mimpi tanpa fondasi. Dan ketika mimpi itu pupus, kita menyalahkan orang lain, bukan diri kita sendiri.
Kita harus berhenti menunggu. Kita harus berhenti membiarkan kegagalan menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Kita harus membangun budaya yang menghargai kejujuran, menghargai tanggung jawab, dan menghargai kegagalan sebagai bagian dari proses.
Jika suatu hari nanti, seorang pejabat PSSI mengundurkan diri karena kegagalan lolos ke Piala Dunia, maka itu bukanlah akhir. Itu adalah awal dari sebuah perubahan. Itu adalah tanda bahwa kita mulai belajar. Itu adalah tanda bahwa kita mulai memahami bahwa kejujuran dan tanggung jawab moral adalah harga yang harus dibayar untuk memimpin.
Dan kalau kita benar-benar ingin melihat bulan, kita harus berhenti menunggu. Kita harus berdiri di tempat yang benar. Dan kita harus bersiap untuk menerima bahwa kadang-kadang, kegagalan adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI