Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Menanti Kehadiran Pungguk Merindukan Bulan, Ketika Gagal Menjadi Panggilan Moral

13 Oktober 2025   21:30 Diperbarui: 13 Oktober 2025   20:25 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Menanti Kehadiran Pungguk Merindukan Bulan, Ketika Gagal Menjadi Panggilan Moral

Di tengah hujan deras yang mengguyur kota, di sebuah ruangan kecil yang sunyi di lantai atas gedung PSSI, seorang petugas keamanan sedang menyapu debu dari lantai. Di sana, di meja besar berlapis kayu jati, tergeletak surat resmi yang belum dibaca. Surat itu berisi permintaan pengunduran diri dari para pejabat PSSI, setelah Indonesia gagal lolos ke Piala Dunia 2026. Namun, tak ada yang membacanya. Tak ada yang menandatangani. Tak ada yang membalas. Seperti layaknya bulan yang tersembunyi di balik awan, harapan akan kejujuran dan tanggung jawab moral pun mulai memudar.

Kita telah menantikan sesuatu yang tidak pernah datang: kejentelmenan, atau lebih tepatnya, keberanian moral. Kita menantikan ketua PSSI dan seluruh stafnya untuk mundur, bukan karena tekanan publik, bukan karena kekalahan di lapangan, tetapi karena rasa malu yang seharusnya menjadi dasar dari kepemimpinan yang bermartabat. Kita menantikan mereka untuk bertindak seperti pungguk merindukan bulan, sosok yang tahu bahwa meskipun bulan tersembunyi, ia tetap ada, dan orang yang benar-benar ingin melihatnya harus rela menunggu dalam kegelapan.

Tapi apa yang terjadi? Bukanlah keheningan, melainkan kesunyian yang penuh dengan kebohongan. PSSI, sebagai institusi yang seharusnya mewakili sepak bola Indonesia, justru menunjukkan bahwa kegagalan bukanlah akhir dari tanggung jawab, tetapi awal dari penyangkalan. Mereka tidak mundur. Mereka tidak mengakui kegagalan. Mereka hanya berbicara tentang "masih bisa bangkit", tentang "proses panjang", tentang "pemain yang masih muda". Tapi semua itu adalah kata-kata yang terdengar indah, namun kosong dari makna.

Seorang pemimpin yang memiliki hati nurani sejati tidak akan menyalahkan pelatih, tidak akan menyalahkan pemain, tidak akan menyalahkan nasib. Ia akan bertanya pada dirinya sendiri: Apa yang telah saya lakukan salah? Apakah saya sudah memberi cukup dukungan? Apakah saya sudah memberi ruang bagi proses? Dan jika jawabannya adalah ya, maka ia akan turun dengan rasa hormat. Ia akan mengundurkan diri, bukan karena dipaksa, tetapi karena ia merasa bahwa tanggung jawab moral telah selesai.

Namun, di Indonesia, hal ini sangat jarang terjadi. Di banyak lembaga, baik di pemerintahan maupun organisasi olahraga, kegagalan dianggap sebagai sesuatu yang harus ditekan, ditutupi, bahkan dikaitkan dengan keberuntungan atau keadaan eksternal. Tidak ada yang mau mengakui kegagalan. Bahkan, ketika kegagalan itu sangat jelas, seperti kegagalan Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026, yang terjadi meski dengan materi pemain yang terlihat menjanjikan, dengan pelatih yang telah bekerja keras selama lima tahun, kita masih menunggu seseorang yang berani mengatakan: "Saya gagal. Saya akan pergi."

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Ini bukan sekadar soal keputusan politik. Ini adalah soal karakter. Ini adalah soal kejujuran terhadap diri sendiri. Seorang pejabat yang tidak mampu mengakui kegagalannya adalah seorang pejabat yang tidak siap memimpin. Ia hanya mampu mengatur sistem, tapi tidak mampu menghadapi realitas. Ia hanya mampu mencari kambing hitam, bukan mencari solusi.

Kita tahu bahwa di dunia internasional, banyak pemimpin yang mundur setelah kegagalan besar. Di Jepang, setelah timnas kalah di Piala Dunia 2018, pelatih Vahid Halilhodi langsung mengundurkan diri. Di Inggris, setelah kegagalan lolos ke Piala Dunia 2014, manajer Roy Hodgson juga mengundurkan diri. Di negara-negara maju, kegagalan bukanlah akhir karier, tetapi titik balik yang menghargai integritas.

Namun di Indonesia, kegagalan sering kali menjadi alat untuk memperkuat posisi. Orang yang gagal tetap diberi jabatan baru. Orang yang tidak berhasil tetap dipertahankan. Dan yang paling menyedihkan, orang yang tidak punya komitmen sama sekali tetap diperlakukan sebagai tokoh penting. Kita hidup dalam dunia di mana kegagalan tidak dihargai, tetapi disalahgunakan sebagai senjata politik.

Kita menunggu seseorang yang berani. Kita menunggu seseorang yang bisa mengatakan: "Kami gagal. Kami tidak cukup kuat. Kami tidak cukup siap. Dan karena itu, saya tidak pantas memimpin lagi." Tapi sampai hari ini, kita masih menunggu. Seperti pungguk yang merindukan bulan, kita menatap langit gelap, berharap cahaya akan muncul, padahal kita tahu bahwa bulan itu tidak akan muncul jika kita tidak berdiri di tempat yang benar.

Mungkin, yang paling menyakitkan bukanlah kegagalan itu sendiri. Tapi ketidakmampuan untuk belajar dari kegagalan. Kita terus-menerus mengulangi kesalahan yang sama: memecat pelatih tanpa evaluasi, menunjuk orang yang tidak kompeten, mengabaikan pembinaan jangka panjang. Kita terus-menerus membangun mimpi tanpa fondasi. Dan ketika mimpi itu pupus, kita menyalahkan orang lain, bukan diri kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun