Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Teh Tradisional Dilindas Teh Instan, Diplomasi yang Menghilang dalam Sekali Sedot

13 Oktober 2025   15:26 Diperbarui: 13 Oktober 2025   15:26 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika Teh Tradisional Dilindas Teh Instan: Diplomasi yang Menghilang dalam Sekali Sedot

Di masa lalu, secangkir teh bukan hanya minuman; ia adalah ritual, jeda, dan jalan diplomasi. Ketika tuan rumah menyuguhkan teh panas yang diseduh perlahan, ia tak sekadar menghilangkan dahaga tamu. Ia sedang membuka ruang: ruang untuk menunggu, ruang untuk berbasa-basi, ruang untuk saling mengukur niat tanpa terburu-buru.

Ada kecemasan halus yang justru menjadi bagian penting dari proses itu, kekhawatiran apakah teh terlalu pahit atau terlalu manis. Kecemasan itu bukan kelemahan, melainkan alat sosial. Ia memicu pertanyaan sopan: "Cukup manis, Pak?" atau "Mau tambah gula?" Kalimat-kalimat kecil yang sebenarnya adalah jembatan emosional. Di baliknya, terselip keinginan untuk menyenangkan, untuk menyesuaikan, untuk memastikan kenyamanan orang lain. Itu adalah bahasa cinta dalam bentuk gula dan daun teh.

Teh tradisional juga memaksa waktu melambat. Ia harus diseduh, dituang, ditunggu hingga suhunya pas. Selama itu, terjadi small talk tentang cuaca, kabar keluarga, atau kenangan lama. Panasnya teh menjadi alasan alami untuk tidak langsung masuk ke inti pembicaraan. Diplomasi berjalan perlahan, seperti gula batu yang larut: tak dipaksakan, tapi pasti.

Namun kini, di era serba instan, semua itu tergantikan oleh satu sachet teh bubuk yang larut dalam hitungan detik atau teh kemasan yang sudah jadi. Teh instan hadir tanpa drama, tanpa kecemasan, tanpa jeda. Satu sedotan dan habis. Tak ada waktu untuk menunggu, tak ada ruang untuk basa-basi. Bahkan suhunya pun sering terlalu cepat dingin, atau terlalu panas hingga tak bisa dinikmati perlahan.

(salah satu teh cepat saji, sumber: diswaypekalongan)
(salah satu teh cepat saji, sumber: diswaypekalongan)

Lalu, diplomasi macam apa yang ditawarkan teh instan?

Jawabannya mungkin menyakitkan: hampir tidak ada.

Teh instan adalah simbol efisiensi, bukan empati. Ia lahir dari budaya yang menghargai kecepatan di atas kedalaman, produktivitas di atas kehadiran. Dalam dunia yang terburu-buru ini, teh instan bukan lagi medium pertemuan, melainkan pelengkap rapat kilat, teman begadang, atau pengganti kopi saat stok habis. Ia tidak mengundang, ia hanya tersedia.

Yang hilang bukan hanya rasa teh yang kaya, tapi juga ritme sosial yang dulu mengikat manusia. Tak ada lagi momen saling menatap sambil menunggu teh cukup hangat untuk diminum. Tak ada lagi kesempatan untuk berkata, "Silakan, ambil camilannya juga," sambil menyodorkan piring kecil berisi kue kering. Yang tersisa hanyalah interaksi transaksional: tuan rumah menyuguhkan, tamu meneguk, lalu langsung ke agenda.

Padahal, dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh layar dan notifikasi, kita justru semakin membutuhkan jeda-jeda kecil seperti itu saat waktu melambat, saat kata-kata tidak perlu langsung tajam, saat kehadiran seseorang dirayakan lewat cara menyeduh teh yang penuh perhatian.

Teh instan mungkin praktis, tapi ia tak bisa menggantikan fungsi sosial teh tradisional sebagai jembatan jiwa. Ia menawarkan kenyamanan fisik, tapi mengorbankan keintiman emosional. Ia menghilangkan rasa pahit, tapi juga menghapus makna dari proses menunggu manisnya kebersamaan.

Maka, ketika kita memilih teh instan, kita bukan hanya memilih minuman kita memilih jenis hubungan yang ingin kita bangun: cepat dan efisien, atau lambat dan bermakna.

Dan mungkin, di tengah hiruk-pikuk zaman, kita perlu sesekali kembali ke dapur, rebus air, ambil daun teh, dan biarkan gula batu larut perlahan bukan karena kita haus, tapi karena kita rindu pada diplomasi yang hangat, sabar, dan manusiawi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun