Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Ruang Publik Menjadi Ancaman

13 Oktober 2025   09:26 Diperbarui: 13 Oktober 2025   09:26 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan Grok.Ai, dokpri)

Jika motif terungkap sebagai gangguan jiwa, misalnya, masyarakat perlu diedukasi bahwa penanganan medis bukanlah bentuk pembiaran, melainkan bagian dari keadilan restoratif yang mengedepankan pemulihan, bukan sekadar hukuman.

Sosio-Antropologi: Kekerasan sebagai Gejala Krisis Sosial

Dari lensa sosio-antropologi, kekerasan bukanlah tindakan individu semata, melainkan gejala dari retakan struktural dalam masyarakat. Setiap tindak kekerasan membawa narasi sosial: siapa korban? Siapa pelaku? Di mana terjadi? Apa konteksnya?

Di Yogyakarta, kota yang selama ini dikenal sebagai simbol toleransi, budaya, dan kebersamaan. kekerasan acak seperti ini menimbulkan guncangan budaya. Masyarakat mulai mempertanyakan: Apakah nilai-nilai "manunggaling kawula lan gusti" dan "gotong royong" masih hidup? Ketika ruang publik seperti pasar (yang seharusnya menjadi arena interaksi sosial, ekonomi, dan budaya) berubah menjadi zona ancaman, maka kontrak sosial tak tertulis antarwarga mulai retak.

Antropolog Clifford Geertz pernah menyebut bahwa budaya adalah "jaringan makna" yang diciptakan manusia. Kekerasan acak mengoyak jaringan itu. Ia menciptakan ketakutan kolektif yang bersifat irasional namun sangat nyata: orang tua enggan mengizinkan anak bermain di luar, pedagang takut berjualan malam hari, warga enggan menolong orang asing karena takut disangka terlibat.

Fenomena ini diperparah oleh fragmentasi sosial akibat urbanisasi, ketimpangan ekonomi, dan individualisme yang kian menguat. Di tengah masyarakat yang semakin "cair", sebagaimana dijelaskan Zygmunt Bauman, ikatan sosial tradisional melemah, sementara institusi modern (seperti negara, sekolah, atau media) belum sepenuhnya mampu menggantikan peran itu sebagai penjaga moral kolektif.

Menuju Masyarakat Damai: Integrasi Solusi Psiko-Sosio-Hukum

Untuk membangun kembali masyarakat yang damai dan nyaman, diperlukan integrasi tiga dimensi: hukum yang berkeadilan, pemulihan jaringan sosial, dan penguatan pendidikan nilai sejak dini.

Pertama, hukum harus ditegakkan dengan cepat, transparan, dan berempati. Proses peradilan tidak boleh hanya mengejar vonis, tetapi juga memulihkan rasa aman korban dan masyarakat. Pendekatan restorative justice yang melibatkan korban, pelaku, dan komunitas bisa menjadi jalan tengah yang memulihkan bukan hanya keadilan, tetapi juga kepercayaan sosial.

Kedua, ruang-ruang sosial perlu direvitalisasi. Posyandu, arisan warga, kegiatan keagamaan, dan pasar rakyat harus kembali menjadi arena interaksi yang inklusif dan aman. Media massa pun perlu menghindari narasi sensasional dan beralih ke pendekatan edukatif yang menjelaskan akar sosial kekerasan, bukan hanya dramatisasi kekejamannya. Tokoh adat, agama, dan budaya harus dilibatkan dalam kampanye perdamaian yang berakar pada nilai lokal, bukan retorika kosong.

Ketiga, pendidikan emosional dan etika sosial harus dimulai sejak dini. Kurikulum sekolah perlu memasukkan pelatihan regulasi emosi, resolusi konflik, dan kesadaran kesehatan mental. Guru dan orang tua harus dibekali kemampuan mengenali stres sosial pada anak dan remaja. Lebih dari itu, konseling psikologis harus dinormalisasi sebagai bagian dari kesehatan umum, bukan sebagai tanda kelemahan atau aib.

Damai Bukan Hanya Absensi Kekerasan, Tapi Hadirnya Keadilan dan Kepercayaan

Kekerasan acak seperti penusukan pedagang bakwan di Yogyakarta bukan hanya kejahatan individu, ia adalah cermin dari ketegangan sosial, kerapuhan emosional kolektif, dan potensi kegagalan sistem perlindungan sosial.

Membangun masyarakat yang damai bukan berarti menciptakan dunia tanpa konflik, melainkan menciptakan ekosistem sosial di mana konflik diselesaikan tanpa kekerasan, dan ketakutan digantikan oleh kepercayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun