Jika motif terungkap sebagai gangguan jiwa, misalnya, masyarakat perlu diedukasi bahwa penanganan medis bukanlah bentuk pembiaran, melainkan bagian dari keadilan restoratif yang mengedepankan pemulihan, bukan sekadar hukuman.
Sosio-Antropologi: Kekerasan sebagai Gejala Krisis Sosial
Dari lensa sosio-antropologi, kekerasan bukanlah tindakan individu semata, melainkan gejala dari retakan struktural dalam masyarakat. Setiap tindak kekerasan membawa narasi sosial: siapa korban? Siapa pelaku? Di mana terjadi? Apa konteksnya?
Di Yogyakarta, kota yang selama ini dikenal sebagai simbol toleransi, budaya, dan kebersamaan. kekerasan acak seperti ini menimbulkan guncangan budaya. Masyarakat mulai mempertanyakan: Apakah nilai-nilai "manunggaling kawula lan gusti" dan "gotong royong" masih hidup? Ketika ruang publik seperti pasar (yang seharusnya menjadi arena interaksi sosial, ekonomi, dan budaya) berubah menjadi zona ancaman, maka kontrak sosial tak tertulis antarwarga mulai retak.
Antropolog Clifford Geertz pernah menyebut bahwa budaya adalah "jaringan makna" yang diciptakan manusia. Kekerasan acak mengoyak jaringan itu. Ia menciptakan ketakutan kolektif yang bersifat irasional namun sangat nyata: orang tua enggan mengizinkan anak bermain di luar, pedagang takut berjualan malam hari, warga enggan menolong orang asing karena takut disangka terlibat.
Fenomena ini diperparah oleh fragmentasi sosial akibat urbanisasi, ketimpangan ekonomi, dan individualisme yang kian menguat. Di tengah masyarakat yang semakin "cair", sebagaimana dijelaskan Zygmunt Bauman, ikatan sosial tradisional melemah, sementara institusi modern (seperti negara, sekolah, atau media) belum sepenuhnya mampu menggantikan peran itu sebagai penjaga moral kolektif.
Menuju Masyarakat Damai: Integrasi Solusi Psiko-Sosio-Hukum
Untuk membangun kembali masyarakat yang damai dan nyaman, diperlukan integrasi tiga dimensi: hukum yang berkeadilan, pemulihan jaringan sosial, dan penguatan pendidikan nilai sejak dini.
Pertama, hukum harus ditegakkan dengan cepat, transparan, dan berempati. Proses peradilan tidak boleh hanya mengejar vonis, tetapi juga memulihkan rasa aman korban dan masyarakat. Pendekatan restorative justice yang melibatkan korban, pelaku, dan komunitas bisa menjadi jalan tengah yang memulihkan bukan hanya keadilan, tetapi juga kepercayaan sosial.
Kedua, ruang-ruang sosial perlu direvitalisasi. Posyandu, arisan warga, kegiatan keagamaan, dan pasar rakyat harus kembali menjadi arena interaksi yang inklusif dan aman. Media massa pun perlu menghindari narasi sensasional dan beralih ke pendekatan edukatif yang menjelaskan akar sosial kekerasan, bukan hanya dramatisasi kekejamannya. Tokoh adat, agama, dan budaya harus dilibatkan dalam kampanye perdamaian yang berakar pada nilai lokal, bukan retorika kosong.
Ketiga, pendidikan emosional dan etika sosial harus dimulai sejak dini. Kurikulum sekolah perlu memasukkan pelatihan regulasi emosi, resolusi konflik, dan kesadaran kesehatan mental. Guru dan orang tua harus dibekali kemampuan mengenali stres sosial pada anak dan remaja. Lebih dari itu, konseling psikologis harus dinormalisasi sebagai bagian dari kesehatan umum, bukan sebagai tanda kelemahan atau aib.
Damai Bukan Hanya Absensi Kekerasan, Tapi Hadirnya Keadilan dan Kepercayaan
Kekerasan acak seperti penusukan pedagang bakwan di Yogyakarta bukan hanya kejahatan individu, ia adalah cermin dari ketegangan sosial, kerapuhan emosional kolektif, dan potensi kegagalan sistem perlindungan sosial.
Membangun masyarakat yang damai bukan berarti menciptakan dunia tanpa konflik, melainkan menciptakan ekosistem sosial di mana konflik diselesaikan tanpa kekerasan, dan ketakutan digantikan oleh kepercayaan.