Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Ruang Publik Menjadi Ancaman

13 Oktober 2025   09:26 Diperbarui: 13 Oktober 2025   09:26 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan Grok.Ai, dokpri)

Ketika Ruang Publik Menjadi Ancaman

Belum lama ini, masyarakat Yogyakarta dikejutkan oleh peristiwa penusukan seorang pedagang bakwan kawi, Z.A. (33), warga Gunungkidul, yang sedang berjualan di depan Bank BPD Mikro DIY, Jalan Pabringan, Gondomanan, Kota Yogyakarta, pada Sabtu sore, 11 Oktober 2025. Pelaku, R.H. (36), warga Patalan, Jetis, Bantul, tiba-tiba mendekati korban, mengambil pisau, lalu menusuknya dari belakang sebanyak empat kali dan dua kali di tangan kanan.

Aksi brutal itu dihentikan oleh seorang saksi bernama RY (33) yang berusaha menghalangi pelaku sebelum akhirnya warga sekitar berhasil mengamankannya. Korban langsung dilarikan ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, sementara pelaku kini berada di Mapolresta Yogyakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut. Motif penyerangan masih diselidiki.

Bagi masyarakat awam, detail hukum sering kali kalah penting dibandingkan satu pertanyaan mendasar: "Apakah saya aman hari ini?" Peristiwa seperti ini bukan kasus tunggal. Di berbagai wilayah Indonesia, kekerasan acak (baik fisik, verbal, maupun simbolik) semakin sering muncul di ruang publik: pasar, jalan raya, tempat ibadah, bahkan sekolah.

Akibatnya, masyarakat mengalami apa yang dalam psikologi disebut "ketidakpastian eksistensial": kehilangan rasa percaya bahwa dunia ini dapat diprediksi, adil, dan aman. Dalam konteks inilah pendekatan interdisipliner, menggabungkan psikologi, hukum, dan antropologi sosial menjadi krusial untuk memahami akar masalah dan merancang solusi yang holistik.

(sumber: berandainspirasi)
(sumber: berandainspirasi)

Psikologi-Hukum: Ketika Hukum Gagal Menjadi Penenang Jiwa

Dari perspektif psikologi-hukum, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat represif, tetapi juga sebagai mekanisme regulasi emosional kolektif. Ketika kekerasan terjadi, masyarakat tidak hanya menuntut pelaku dihukum, mereka menuntut keadilan yang terasa. Jika proses hukum lambat, opak, atau dianggap tidak adil, maka rasa aman tidak akan pulih, bahkan jika pelaku sudah ditangkap.

Studi menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap sistem peradilan berkorelasi kuat dengan tingkat kecemasan sosial. Ketika masyarakat percaya bahwa hukum bekerja cepat, transparan, dan proporsional, mereka cenderung merasa lebih aman meskipun ancaman objektif tetap ada.

Sebaliknya, ketika hukum dianggap lemah atau diskriminatif, masyarakat mengalami anomie, istilah yang dikemukakan Durkheim untuk menggambarkan keadaan di mana norma sosial runtuh dan individu kehilangan orientasi moral. Dalam kondisi seperti itu, kekerasan bisa muncul sebagai bentuk "otonomi liar" yang justru memperparah krisis kepercayaan.

Dalam kasus penusukan di Yogyakarta, respons cepat Polresta Yogyakarta (mengamankan pelaku, menyita barang bukti, dan memberikan informasi publik) adalah langkah awal yang baik. Namun, tantangannya adalah menjaga konsistensi dan keadilan prosedural hingga vonis akhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun