Ketika Ruang Publik Menjadi Ancaman
Belum lama ini, masyarakat Yogyakarta dikejutkan oleh peristiwa penusukan seorang pedagang bakwan kawi, Z.A. (33), warga Gunungkidul, yang sedang berjualan di depan Bank BPD Mikro DIY, Jalan Pabringan, Gondomanan, Kota Yogyakarta, pada Sabtu sore, 11 Oktober 2025. Pelaku, R.H. (36), warga Patalan, Jetis, Bantul, tiba-tiba mendekati korban, mengambil pisau, lalu menusuknya dari belakang sebanyak empat kali dan dua kali di tangan kanan.
Aksi brutal itu dihentikan oleh seorang saksi bernama RY (33) yang berusaha menghalangi pelaku sebelum akhirnya warga sekitar berhasil mengamankannya. Korban langsung dilarikan ke RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, sementara pelaku kini berada di Mapolresta Yogyakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut. Motif penyerangan masih diselidiki.
Bagi masyarakat awam, detail hukum sering kali kalah penting dibandingkan satu pertanyaan mendasar: "Apakah saya aman hari ini?" Peristiwa seperti ini bukan kasus tunggal. Di berbagai wilayah Indonesia, kekerasan acak (baik fisik, verbal, maupun simbolik) semakin sering muncul di ruang publik: pasar, jalan raya, tempat ibadah, bahkan sekolah.
Akibatnya, masyarakat mengalami apa yang dalam psikologi disebut "ketidakpastian eksistensial": kehilangan rasa percaya bahwa dunia ini dapat diprediksi, adil, dan aman. Dalam konteks inilah pendekatan interdisipliner, menggabungkan psikologi, hukum, dan antropologi sosial menjadi krusial untuk memahami akar masalah dan merancang solusi yang holistik.
Psikologi-Hukum: Ketika Hukum Gagal Menjadi Penenang Jiwa
Dari perspektif psikologi-hukum, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat represif, tetapi juga sebagai mekanisme regulasi emosional kolektif. Ketika kekerasan terjadi, masyarakat tidak hanya menuntut pelaku dihukum, mereka menuntut keadilan yang terasa. Jika proses hukum lambat, opak, atau dianggap tidak adil, maka rasa aman tidak akan pulih, bahkan jika pelaku sudah ditangkap.
Studi menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap sistem peradilan berkorelasi kuat dengan tingkat kecemasan sosial. Ketika masyarakat percaya bahwa hukum bekerja cepat, transparan, dan proporsional, mereka cenderung merasa lebih aman meskipun ancaman objektif tetap ada.
Sebaliknya, ketika hukum dianggap lemah atau diskriminatif, masyarakat mengalami anomie, istilah yang dikemukakan Durkheim untuk menggambarkan keadaan di mana norma sosial runtuh dan individu kehilangan orientasi moral. Dalam kondisi seperti itu, kekerasan bisa muncul sebagai bentuk "otonomi liar" yang justru memperparah krisis kepercayaan.
Dalam kasus penusukan di Yogyakarta, respons cepat Polresta Yogyakarta (mengamankan pelaku, menyita barang bukti, dan memberikan informasi publik) adalah langkah awal yang baik. Namun, tantangannya adalah menjaga konsistensi dan keadilan prosedural hingga vonis akhir.