Keempat, Teh Rosella dari Nusa Tenggara Timur. Di Flores dan beberapa wilayah NTT, bunga rosella kering kerap diseduh sebagai teh herbal. Warnanya merah menyala, rasanya asam segar. Teh ini tidak hanya dikonsumsi sebagai pelepas dahaga, tapi juga sebagai pengingat akan kesederhanaan dan kebersahajaan hidup. Dalam masyarakat petani yang dekat dengan alam, teh rosella mengajarkan untuk mensyukuri apa yang ada, buah bumi yang tumbuh tanpa dipaksakan, layaknya hidup yang mengalir alami.
Kelima, Teh Daun Jeruk Purut dari Kalimantan Selatan.Â
Masyarakat Banjar kerap menyeduh daun jeruk purut kering sebagai teh herbal yang menyegarkan. Aromanya tajam, rasanya ringan, dan dipercaya membersihkan pikiran. Dalam konteks sosial, teh ini sering disajikan saat manyanggar (kumpul keluarga) atau menerima tamu dari jauh. Filosofinya: kejernihan pikiran dan niat tulus harus menjadi dasar setiap pertemuan seperti aroma jeruk purut yang "membersihkan" udara sekitar.
Keenam, Teh Jahe dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di pedesaan Jawa, teh jahe hangat kerap disajikan saat hujan atau malam hari. Jahe yang pedas dan menghangatkan tubuh menjadi metafora semangat pantang menyerah. Dalam budaya Jawa yang menghargai tanggap (peka) dan welas asih (kasih sayang), menyajikan teh jahe adalah bentuk empati: "Aku tahu kau lelah, izinkan aku menghangatkanmu."
Pendekatan Psikologis: Kenyamanan dan Komunikasi Non-Verbal
Di sisi lain, teh juga memiliki kekuatan psikologis yang tak boleh diabaikan. Ia bukan hanya menyentuh lidah, tapi juga menyentuh jiwa menciptakan suasana yang kondusif untuk komunikasi yang tulus dan terbuka.
Pertama, Efek Ketenangan dan Kepercayaan. Suhu hangat teh memberikan efek fisiologis dan psikologis yang menenangkan. Rasa nyaman ini secara alami menurunkan tingkat kecemasan atau kaku sosial yang sering muncul saat bertemu orang baru. Tamu merasa lebih aman, lebih rileks, dan lebih siap untuk berbagi pikiran.
Secara ilmiah, teh, terutama teh hijau, namun juga teh hitam, mengandung L-Theanine, senyawa alami yang mampu meningkatkan gelombang alfa di otak. Gelombang ini dikaitkan dengan keadaan rileks namun waspada, kondisi ideal untuk berdialog dengan penuh perhatian dan empati.
Kedua, Komunikasi Non-Verbal yang Bermakna. Interaksi saat minum teh dipenuhi oleh bahasa tubuh yang halus namun penuh arti. Cara tamu menerima cangkir, memegangnya, menunggu hingga suhunya pas, atau bahkan cara ia menikmati aromanya, semua ini adalah bentuk komunikasi non-verbal yang menyiratkan tingkat kenyamanan dan penghargaannya terhadap keramahan tuan rumah.
Di sisi tuan rumah, penyajian teh yang rapi (dilengkapi piring kecil, camilan sederhana, atau tata letak yang estetis) bukan sekadar urusan kerapihan. Ini adalah pesan psikologis yang jelas: "Anda penting. Anda dihargai." Pesan ini memperkuat harga diri tamu dan meletakkan fondasi bagi hubungan yang positif dan saling menghormati.
Ketiga, Memori Sensorik yang Tak Terlupakan. Teh juga meninggalkan jejak di memori melalui indra. Aroma melati yang lembut, rasa manis yang pas, atau sensasi hangat yang merambat di tenggorokan, semua ini membentuk memori sensorik yang kuat. Ketika tamu pulang, yang mereka ingat bukan hanya isi percakapan, tapi juga nuansa hangat dari momen tersebut. Dan justru karena itulah, mereka merasa "di rumah"dan terdorong untuk kembali.
Teh di Indonesia jauh lebih dari sekadar minuman. Ia adalah jembatan antara tuan rumah dan tamu, antara tradisi dan modernitas, antara tubuh dan jiwa. Dalam setiap cangkirnya, tersimpan nilai-nilai sosial, filosofi hidup, dan kekuatan psikologis yang menyatukan manusia. Maka, ketika seseorang menyuguhkan teh, ia tak hanya menawarkan minuman, ia menawarkan ruang, waktu, dan hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI