Sakramen Cinta yang Menuntut Pemahaman Mendalam dan Komitmen Seumur Hidup
Di tengah berbagai pendekatan kontemporer terhadap pernikahan (termasuk metode-metode kreatif seperti "Tepuk Sakinah" yang populer di kalangan umat Muslim Indonesia yang baru-baru diusulkan oleh MUI) Gereja Katolik menawarkan pandangan yang berbeda namun tak kalah mendalam tentang ikatan perkawinan.
Bagi umat Katolik, perkawinan bukan sekadar kontrak sosial, komitmen emosional, atau bahkan sekadar kewajiban agama. Ia adalah sakramen suci, salah satu dari tujuh sakramen Gereja, yang menjadi tanda nyata kasih Allah kepada dunia melalui cinta antara seorang pria dan seorang wanita.
Perkawinan sebagai Sakramen: Lebih dari Sekadar Janji
Dalam ajaran Gereja Katolik, perkawinan adalah sakramen antara dua orang yang dibaptis. Artinya, ketika seorang pria dan wanita Katolik saling memberikan persetujuan bebas di hadapan Gereja, mereka tidak hanya mengikat diri satu sama lain, tetapi juga mengundang Kristus hadir secara nyata dalam ikatan mereka. Sebagaimana dinyatakan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK 1601), "Sakramen perkawinan menandakan persekutuan cinta antara Kristus dan Gereja-Nya."
Ini bukan metafora puitis, melainkan realitas teologis. Cinta suami-istri dipanggil untuk mencerminkan cinta Kristus yang rela menyerahkan diri-Nya demi mempelai-Nya, yaitu Gereja. Oleh karena itu, perkawinan Katolik bersifat indissolubilis, tidak dapat diceraikan. Janji "sampai maut memisahkan kita" bukan sekadar frasa tradisional, melainkan ekspresi iman akan kesetiaan ilahi yang mengikat pasangan dalam satu daging (lih. Mat 19:6).
Pembekalan Perkawinan: Persiapan Rohani yang Intens, Bukan Sekadar Formalitas
Berbeda dengan pendekatan yang mengandalkan metode interaktif atau hiburan untuk menyampaikan nilai-nilai pernikahan, Gereja Katolik menekankan pembekalan rohani yang intensif dan reflektif. Proses persiapan perkawinan (biasanya disebut katekumen perkawinan atau persiapan nikah) berlangsung selama beberapa minggu hingga bulan, tergantung kebijakan keuskupan setempat.
Dalam masa persiapan ini, calon mempelai diajak untuk: Pertama, Merefleksikan panggilan hidup mereka. Apakah mereka memahami bahwa perkawinan adalah jalan kesucian, sama sakralnya dengan hidup membiara atau imamat?
Kedua, Memahami sifat-sifat perkawinan Katolik. Kesatuan (tidak boleh berbagi dengan orang lain), kesetiaan (tidak ada ruang untuk perselingkuhan), keterbukaan terhadap kehidupan (keterbukaan terhadap anak sebagai buah cinta), dan ketidakdapatdibatalkan (indissolubilitas).
Ketiga, Menggali komunikasi dan komitmen. Melalui sesi pastoral, konseling, dan diskusi kelompok, pasangan diajak untuk mengenal satu sama lain secara lebih utuh, termasuk latar belakang keluarga, nilai-nilai hidup, harapan, dan bahkan potensi konflik.
Keempat, Memperdalam iman. Mereka diajak kembali ke sakramen Tobat, memperbarui iman Baptis mereka, dan mempersiapkan diri untuk menerima Ekaristi dalam Misa Nikah sebagai puncak persekutuan dengan Kristus.
Tidak ada tepuk tangan, nyanyian riang, atau gerakan tari dalam proses ini. Yang ada adalah keheningan, doa, pertanyaan sulit, dan kejujuran. Karena Gereja percaya: perkawinan yang kokoh dibangun bukan di atas emosi sesaat, melainkan di atas fondasi iman, pengertian, dan kerelaan saling menyerahkan diri.
Mengapa Pemahaman Mendalam Lebih Penting daripada Metode "Menyenangkan"?
Dalam era di mana segala sesuatu harus cepat, viral, dan menyenangkan, pendekatan Gereja Katolik mungkin terasa "berat" atau "kuno". Namun, justru di situlah letak kekuatannya. Statistik menunjukkan bahwa pasangan yang menjalani persiapan nikah Katolik secara serius cenderung memiliki tingkat kepuasan perkawinan yang lebih tinggi dan tingkat perceraian yang jauh lebih rendah, meskipun Gereja tidak mengakui perceraian sipil sebagai pemutusan ikatan sakramental.
Alasannya sederhana: mereka datang ke altar bukan hanya dengan cinta, tetapi dengan kesadaran. Mereka tahu bahwa perkawinan bukan akhir dari pencarian cinta, melainkan awal dari sebuah perjalanan spiritual bersama, di mana setiap tantangan adalah kesempatan untuk bertumbuh dalam kasih Kristus.
Penutup: Sakramen yang Menguduskan Dunia
Bagi Gereja Katolik, perkawinan bukan pelarian dari dunia, melainkan jalan pengudusan di tengah dunia. Melalui cinta yang setia, terbuka bagi kehidupan, dan saling menguduskan, keluarga Katolik menjadi "gereja rumah tangga" (ecclesia domestica), tempat di mana Injil dihidupi setiap hari.
Dalam konteks masyarakat modern yang sering menganggap pernikahan sebagai komoditas atau kontrak sementara, Gereja Katolik tetap bersikeras: perkawinan adalah sakramen abadi. Dan untuk memasuki misteri seagung itu, yang dibutuhkan bukanlah tepuk tangan, melainkan hati yang siap, pikiran yang terbuka, dan jiwa yang rindu akan kasih sejati, kasih yang berasal dari Allah sendiri.
Referensi
Katekismus Gereja Katolik (KGK), 1601-1666
Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini), Bab V
Pedoman Persiapan Perkawinan, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
Paus Fransiskus, Amoris Laetitia (Sukacita Kasih dalam Keluarga), 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI