Setiap pagi kini terasa seperti pengkhianatan: matahari tetap terbit, burung tetap berkicau, dunia terus berputar seolah tak peduli bahwa dua jiwa yang paling hangat di antara kami telah pergi. Kami mencoba menata hari dengan senyum yang dipaksakan, tapi bayangan Kris dan Aris selalu muncul di sudut-sudut keheningan: dalam tawa yang tak lagi bersahut, dalam kursi kosong di meja makan, dalam pesan yang tak akan pernah dibalas. Dua puluh tiga hari terasa seperti abad yang terpotong, terlalu cepat untuk sembuh, terlalu lama untuk melupakan.
Yang paling menyakitkan bukan hanya kepergian mereka, tapi cara kematian datang beruntun, seolah alam sedang menguji seberapa kuat kami menahan luka. Mereka lahir berdekatan, tumbuh dalam persahabatan yang nyaris tak terpisahkan, dan kini pun pergi dalam irama yang sama satu menyusul yang lain, meninggalkan kami dalam kehampaan ganda.Â
Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan rindu ini; yang tersisa hanyalah doa yang terus mengalir, harapan bahwa di sana, di tempat yang tak lagi mengenal perpisahan, mereka berdua tertawa bersama seperti dulu, tanpa batas waktu, tanpa bayang kematian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI