Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[seri 6: RIP] Dua Bintang, Satu Luka

6 Oktober 2025   23:00 Diperbarui: 6 Oktober 2025   23:05 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak seorang pun tahu kapan napas terakhir akan datang: bukan kita, bukan pula mereka yang tersenyum hangat di pagi hari sebelum senja menjemputnya. Rahasia hidup dan mati hanya milik Sang Pencipta; kita hanyalah tamu yang dipinjamkan waktu, lalu dikembalikan tanpa permisi.

Betapa rapuhnya rencana di hadapan takdir: baru saja kami mengubur rindu untuk Kris, menghitung hari dalam sunyi yang patah, tiba-tiba langit runtuh lagi Aris pergi, menyusul sahabatnya hanya selepas dua puluh tiga hari.

Siapa yang sanggup menghitung hari, jika kematian datang bukan sebagai ancaman, tapi sebagai panggilan yang tak bisa ditunda?

Dua sahabat, lahir dalam bulan yang sama, pergi dalam rentang waktu yang terasa kejam. Luka yang belum kering kini robek lagi, lebih dalam, lebih sunyi.

Kami yang ditinggalkan hanya bisa memeluk kenangan yang tak lagi bisa disentuh, bertanya-tanya dalam gelap: mengapa harus beruntun? Mengapa cinta yang begitu nyata harus berakhir dalam derai yang tak kunjung usai?

Hidup memang bukan milik kita, hanya pinjaman sesaat, dan kematian selalu datang lebih cepat dari dugaan. HODIE MIHI CRAS TIBI: HARI INI ENGKAU, DIA, BESOK BISA AKU, KITA. 

 

Dua Bintang, Satu Luka

 

Dua puluh tiga hari luka Kris menganga,
Air mata belum kering, Aris pun pergi selamanya.
Bulan kelahiran sama, enam hari terpaut,
Aris tiga tahun lebih tua, kini bersama dalam sunyi yang kekal. 

Kenangan tawa mereka masih basah di jiwa,
Luka lama berdarah, luka baru merobek nyata.
Dua sahabat, daun kembar jatuh beruntun,
Langit menangis, namun rindu tak pernah reda. 

Tetap mereka hidup di relung hati yang patah,
Inspirasi cinta mereka abadi, walau perih membekas.
Dari luka ini, kita belajar: kasih sejati tak pernah pudar,
Kris dan Aris, bintang kita, bersinar di langit selamanya.

(sumber WAG PBMN)
(sumber WAG PBMN)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun