Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Tubuh yang Jujur: Pelajaran dari Pejabat Jepang tentang Integritas dalam Public Speaking

5 Oktober 2025   15:37 Diperbarui: 5 Oktober 2025   15:37 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Bahasa Tubuh yang Jujur: Pelajaran dari Pejabat Jepang tentang Integritas dalam Public Speaking

Di tengah hiruk-pikuk dunia politik yang kerap dipenuhi retorika kosong, janji palsu, dan pembelaan defensif, muncul sebuah pertanyaan mendasar: apakah public speaking yang baik diukur dari kefasihan kata-kata, atau dari kejujuran yang menyatu dalam setiap gerak tubuh, ekspresi wajah, dan tindakan nyata?

Jawabannya mungkin mengejutkan: bahasa tubuh (dan lebih luas lagi, konsistensi antara ucapan dan tindakan) jauh lebih menentukan kredibilitas seorang pembicara daripada bahasa verbal semata. Dan dalam hal ini, kita bisa belajar banyak dari budaya politik Jepang, di mana integritas bukan sekadar nilai moral, melainkan prinsip hidup yang dijunjung tinggi bahkan hingga rela mengundurkan diri demi menjaga kepercayaan publik.

Bahasa Tubuh: Cermin Jiwa yang Tak Bisa Berbohong

Psikolog Albert Mehrabian pernah mengemukakan teori komunikasi yang terkenal: hanya 7% pesan emosional disampaikan melalui kata-kata, sementara 38% melalui nada suara, dan 55% melalui bahasa tubuh. Artinya, ketika seorang pejabat berdiri di podium, publik tidak hanya mendengar apa yang ia katakan, mereka membaca apakah ia benar-benar percaya pada ucapannya.

Bahasa tubuh (postur, kontak mata, gerak tangan, ekspresi wajah) adalah cermin bawah sadar. Ia sulit dimanipulasi secara konsisten. Seorang pejabat bisa saja menghafal pidato penuh data dan retorika canggih, tetapi jika tubuhnya menegang, matanya menghindar, atau senyumnya kaku, audiens akan merasakan ketidakselarasan itu. Mereka menyebutnya "rasa tidak enak", "tidak tulus", atau "seperti ada yang disembunyikan".

Sebaliknya, pejabat yang tubuhnya terbuka, suaranya tenang namun tegas, dan matanya menatap lurus ke arah rakyat (meski kata-katanya sederhana) akan memancarkan otoritas moral yang jauh lebih kuat daripada orator yang penuh jargon tapi penuh kecemasan.

Pelajaran dari Jepang: Mengundurkan Diri sebagai Bentuk Tanggung Jawab Moral

Di Jepang, konsep haji (rasa malu) dan sekinin (tanggung jawab) bukan sekadar norma sosial. Konsep-konsep itu termasuk fondasi etika kepemimpinan. Ketika seorang pejabat menyadari bahwa ucapannya bertentangan dengan fakta, atau kebijakannya gagal melindungi rakyat, ia tidak menyangkal, tidak menyalahkan pihak lain, dan tidak bersembunyi di balik narasi propaganda. Ia memilih jalan yang langka di banyak negara: mengundurkan diri.

Contoh nyata terjadi pada 2021, ketika Menteri Olimpiade Jepang, Seiko Hashimoto, menghadapi kritik keras atas penanganan pandemi menjelang Olimpiade Tokyo. Meski tidak terbukti melakukan kesalahan besar, tekanan publik dan ketidaksesuaian antara janji dan realitas membuatnya mempertimbangkan pengunduran diri, sebuah sikap yang mencerminkan kesadaran bahwa jabatan adalah amanah, bukan hak.

Lebih ikonik lagi adalah tindakan Perdana Menteri Junichiro Koizumi pada 2000-an, yang secara terbuka meminta maaf dan mengambil tanggung jawab penuh atas kegagalan kebijakan tertentu meski secara teknis ia bisa saja melempar kesalahan ke birokrasi. Di Jepang, mengakui kesalahan bukan kelemahan, melainkan bentuk keberanian moral tertinggi.

Perbandingannya mencolok. Di banyak negara, termasuk Indonesia, pejabat sering kali memilih bertahan meski terbukti berbohong, menyesatkan, atau gagal menjalankan tugas. Mereka mengandalkan juru bicara, narasi kontra, atau bahkan serangan balik terhadap kritikus, alih-alih memperbaiki diri atau mundur dengan hormat.

Public Speaking yang Utuh: Ketika Kata, Tubuh, dan Tindakan Seirama

Public speaking yang autentik bukanlah pertunjukan verbal, melainkan ekspresi utuh dari integritas pribadi. Ia terjadi ketika: Kata-kata selaras dengan fakta, Bahasa tubuh mencerminkan keyakinan dan empati, Tindakan nyata mengonfirmasi janji yang diucapkan.

Pejabat Jepang memahami ini dengan baik. Mereka tahu bahwa sekali kepercayaan publik retak, karena ucapan yang tidak sesuai kenyataan, maka seluruh otoritas moral mereka runtuh. Dan dalam budaya yang menghargai kehormatan (meiyo), lebih baik mundur dengan martabat daripada bertahan dengan citra yang retak.

Di Indonesia, kita sering melihat sebaliknya: pejabat yang tetap tampil percaya diri di layar televisi meski kebijakannya gagal, atau yang tersenyum lebar saat rakyat sedang menderita. Bahasa tubuh mereka mungkin terlatih, tetapi jiwanya tidak hadir. Akibatnya, rakyat tidak percaya, bukan karena kata-katanya salah, tetapi karena tubuh dan tindakannya berbohong.

Menuju Etika Public Speaking yang Berintegritas

Apa yang bisa kita pelajari? Pertama, latih bukan hanya mulut, tapi juga hati. Public speaking yang baik lahir dari kejujuran internal, bukan dari naskah sempurna.

Kedua, hargai rakyat cukup untuk mengakui kesalahan. Karena rakyat bukan musuh yang harus ditipu, melainkan tuan yang berhak atas kebenaran.

Ketiga, jadikan pengunduran diri sebagai opsi etis, bukan sebagai kegagalan. Dalam demokrasi yang sehat, tanggung jawab moral harus lebih berharga daripada kekuasaan.

Dan keempat, yang terpenting ingatlah bahwa bahasa tubuh tidak pernah berbohong. Ketika Anda berdiri di depan rakyat, tubuh Anda sedang bercerita, apakah Anda datang sebagai pelayan yang rendah hati, atau sebagai penguasa yang angkuh.

Di sinilah letak keagungan public speaking sejati: bukan pada seberapa indah kata-kata yang terucap, tetapi pada seberapa jujur tubuh dan tindakan Anda membenarkan kata-kata itu. Dan jika ternyata tidak bisa, maka keberanian terbesar bukanlah terus berbicara, melainkan diam, mundur, dan memberi jalan pada yang lebih layak.

Seperti kata pepatah Jepang kuno: "Hana wa sakuragi, hito wa shinogi." (Bunga terbaik adalah sakura; manusia terbaik adalah yang tahu kapan harus pergi.)

Dalam dunia public speaking, kepergian yang jujur terkadang berbicara lebih lantang daripada ribuan pidato.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun