Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa Tubuh yang Jujur: Pelajaran dari Pejabat Jepang tentang Integritas dalam Public Speaking

5 Oktober 2025   15:37 Diperbarui: 5 Oktober 2025   15:37 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Public speaking yang autentik bukanlah pertunjukan verbal, melainkan ekspresi utuh dari integritas pribadi. Ia terjadi ketika: Kata-kata selaras dengan fakta, Bahasa tubuh mencerminkan keyakinan dan empati, Tindakan nyata mengonfirmasi janji yang diucapkan.

Pejabat Jepang memahami ini dengan baik. Mereka tahu bahwa sekali kepercayaan publik retak, karena ucapan yang tidak sesuai kenyataan, maka seluruh otoritas moral mereka runtuh. Dan dalam budaya yang menghargai kehormatan (meiyo), lebih baik mundur dengan martabat daripada bertahan dengan citra yang retak.

Di Indonesia, kita sering melihat sebaliknya: pejabat yang tetap tampil percaya diri di layar televisi meski kebijakannya gagal, atau yang tersenyum lebar saat rakyat sedang menderita. Bahasa tubuh mereka mungkin terlatih, tetapi jiwanya tidak hadir. Akibatnya, rakyat tidak percaya, bukan karena kata-katanya salah, tetapi karena tubuh dan tindakannya berbohong.

Menuju Etika Public Speaking yang Berintegritas

Apa yang bisa kita pelajari? Pertama, latih bukan hanya mulut, tapi juga hati. Public speaking yang baik lahir dari kejujuran internal, bukan dari naskah sempurna.

Kedua, hargai rakyat cukup untuk mengakui kesalahan. Karena rakyat bukan musuh yang harus ditipu, melainkan tuan yang berhak atas kebenaran.

Ketiga, jadikan pengunduran diri sebagai opsi etis, bukan sebagai kegagalan. Dalam demokrasi yang sehat, tanggung jawab moral harus lebih berharga daripada kekuasaan.

Dan keempat, yang terpenting ingatlah bahwa bahasa tubuh tidak pernah berbohong. Ketika Anda berdiri di depan rakyat, tubuh Anda sedang bercerita, apakah Anda datang sebagai pelayan yang rendah hati, atau sebagai penguasa yang angkuh.

Di sinilah letak keagungan public speaking sejati: bukan pada seberapa indah kata-kata yang terucap, tetapi pada seberapa jujur tubuh dan tindakan Anda membenarkan kata-kata itu. Dan jika ternyata tidak bisa, maka keberanian terbesar bukanlah terus berbicara, melainkan diam, mundur, dan memberi jalan pada yang lebih layak.

Seperti kata pepatah Jepang kuno: "Hana wa sakuragi, hito wa shinogi." (Bunga terbaik adalah sakura; manusia terbaik adalah yang tahu kapan harus pergi.)

Dalam dunia public speaking, kepergian yang jujur terkadang berbicara lebih lantang daripada ribuan pidato.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun