Bahasa Tubuh yang Jujur: Pelajaran dari Pejabat Jepang tentang Integritas dalam Public Speaking
Di tengah hiruk-pikuk dunia politik yang kerap dipenuhi retorika kosong, janji palsu, dan pembelaan defensif, muncul sebuah pertanyaan mendasar: apakah public speaking yang baik diukur dari kefasihan kata-kata, atau dari kejujuran yang menyatu dalam setiap gerak tubuh, ekspresi wajah, dan tindakan nyata?
Jawabannya mungkin mengejutkan: bahasa tubuh (dan lebih luas lagi, konsistensi antara ucapan dan tindakan) jauh lebih menentukan kredibilitas seorang pembicara daripada bahasa verbal semata. Dan dalam hal ini, kita bisa belajar banyak dari budaya politik Jepang, di mana integritas bukan sekadar nilai moral, melainkan prinsip hidup yang dijunjung tinggi bahkan hingga rela mengundurkan diri demi menjaga kepercayaan publik.
Bahasa Tubuh: Cermin Jiwa yang Tak Bisa Berbohong
Psikolog Albert Mehrabian pernah mengemukakan teori komunikasi yang terkenal: hanya 7% pesan emosional disampaikan melalui kata-kata, sementara 38% melalui nada suara, dan 55% melalui bahasa tubuh. Artinya, ketika seorang pejabat berdiri di podium, publik tidak hanya mendengar apa yang ia katakan, mereka membaca apakah ia benar-benar percaya pada ucapannya.
Bahasa tubuh (postur, kontak mata, gerak tangan, ekspresi wajah) adalah cermin bawah sadar. Ia sulit dimanipulasi secara konsisten. Seorang pejabat bisa saja menghafal pidato penuh data dan retorika canggih, tetapi jika tubuhnya menegang, matanya menghindar, atau senyumnya kaku, audiens akan merasakan ketidakselarasan itu. Mereka menyebutnya "rasa tidak enak", "tidak tulus", atau "seperti ada yang disembunyikan".
Sebaliknya, pejabat yang tubuhnya terbuka, suaranya tenang namun tegas, dan matanya menatap lurus ke arah rakyat (meski kata-katanya sederhana) akan memancarkan otoritas moral yang jauh lebih kuat daripada orator yang penuh jargon tapi penuh kecemasan.
Pelajaran dari Jepang: Mengundurkan Diri sebagai Bentuk Tanggung Jawab Moral
Di Jepang, konsep haji (rasa malu) dan sekinin (tanggung jawab) bukan sekadar norma sosial. Konsep-konsep itu termasuk fondasi etika kepemimpinan. Ketika seorang pejabat menyadari bahwa ucapannya bertentangan dengan fakta, atau kebijakannya gagal melindungi rakyat, ia tidak menyangkal, tidak menyalahkan pihak lain, dan tidak bersembunyi di balik narasi propaganda. Ia memilih jalan yang langka di banyak negara: mengundurkan diri.
Contoh nyata terjadi pada 2021, ketika Menteri Olimpiade Jepang, Seiko Hashimoto, menghadapi kritik keras atas penanganan pandemi menjelang Olimpiade Tokyo. Meski tidak terbukti melakukan kesalahan besar, tekanan publik dan ketidaksesuaian antara janji dan realitas membuatnya mempertimbangkan pengunduran diri, sebuah sikap yang mencerminkan kesadaran bahwa jabatan adalah amanah, bukan hak.
Lebih ikonik lagi adalah tindakan Perdana Menteri Junichiro Koizumi pada 2000-an, yang secara terbuka meminta maaf dan mengambil tanggung jawab penuh atas kegagalan kebijakan tertentu meski secara teknis ia bisa saja melempar kesalahan ke birokrasi. Di Jepang, mengakui kesalahan bukan kelemahan, melainkan bentuk keberanian moral tertinggi.
Perbandingannya mencolok. Di banyak negara, termasuk Indonesia, pejabat sering kali memilih bertahan meski terbukti berbohong, menyesatkan, atau gagal menjalankan tugas. Mereka mengandalkan juru bicara, narasi kontra, atau bahkan serangan balik terhadap kritikus, alih-alih memperbaiki diri atau mundur dengan hormat.