Gula yang Mengaburkan Prestasi: Bagaimana Sugar Coating Merusak Pengembangan Kompetensi dan Sistem Merit di Tempat Kerja
Di sebuah perusahaan multinasional, dua karyawan (Andi dan Bima) memiliki rekam jejak kerja yang nyaris setara. Keduanya menyelesaikan proyek tepat waktu, memberikan kontribusi inovatif, dan aktif dalam kolaborasi tim. Namun, saat masa penilaian kinerja tiba, hanya Bima yang dipromosikan. Bukan karena hasil kerjanya lebih unggul, melainkan karena Bima punya kebiasaan: setiap kali bertemu atasan, ia selalu menyisipkan pujian halus, memuji visi sang bos, dan menyampaikan laporan dengan kalimat yang terdengar seperti puisi, meski isinya biasa saja. Andi, yang lebih suka bicara langsung dan fokus pada data, justru dianggap "kurang peka secara politis".
Kisah ini bisa jadi hanya fiksi atau rekaan belaka. Namun kenyataan sering terjadi di banyak organisasi, tempat di mana sugar coating, atau kebiasaan memaniskan komunikasi demi citra positif, perlahan menggerogoti fondasi pengembangan kompetensi dan sistem meritokrasi.
Ketika Pujian Menggantikan Umpan Balik yang Membangun
Salah satu pilar utama pengembangan kompetensi adalah umpan balik yang jujur, spesifik, dan konstruktif. Tanpa itu, seseorang tidak tahu di mana harus memperbaiki diri. Namun, dalam budaya sugar coating, umpan balik yang seharusnya menjadi cermin justru berubah jadi cermin ajaib yang hanya memantulkan citra sempurna.
Seorang karyawan yang selalu dipuji, meski laporannya penuh celah logika atau presentasinya kurang meyakinkan, akan mengembangkan ilusi kompetensi. Ia percaya diri bukan karena benar-benar mampu, tapi karena terus-menerus diberi validasi palsu. Akibatnya, ia tidak merasa perlu belajar, berlatih, atau memperdalam keahliannya. Ia puas berada di zona nyaman yang dibangun dari pujian kosong.
Sebaliknya, karyawan yang jujur dan kritis, yang berani menyampaikan kelemahan sistem atau menolak menutupi kesalahan, sering kali dihukum secara sosial. Mereka dianggap "negatif" atau "sulit diajak kerja sama", padahal merekalah yang sebenarnya berkontribusi pada perbaikan berkelanjutan. Dalam jangka panjang, organisasi kehilangan talenta yang berpikir kritis, sementara yang bertahan justru mereka yang pandai "bermain aman" dengan kata-kata manis.
Sistem Merit yang Tergoyahkan
Sistem merit, di mana promosi dan penghargaan didasarkan pada kinerja nyata, bukan hubungan pribadi atau kelicikan sosial, adalah tulang punggung organisasi yang sehat dan berkelanjutan. Namun, sugar coating adalah racun senyap bagi sistem ini.
Ketika atasan lebih sering mendengar versi "manis" dari realitas, penilaian kinerja menjadi bias. Karyawan yang mahir memanipulasi persepsi lewat pujian strategis sering kali dinilai lebih tinggi daripada rekan yang diam-diam menyelesaikan masalah kompleks. Promosi tidak lagi didasarkan pada what you deliver, tapi pada how sweetly you say it. Itulah penyakit ABS (asal bapak senang) atau AIS (asal ibu senang) di tempat kerja yang bisa menjadi kanker ganas yang mematikan baik bagi yang bersangkutan maupun perusahaan.
Akibatnya, jabatan strategis jatuh ke tangan orang yang mungkin hebat dalam berkomunikasi, tapi lemah dalam eksekusi. Mereka bisa menyampaikan visi dengan penuh semangat, tapi gagap saat harus mengelola konflik tim atau mengambil keputusan sulit. Dan karena mereka naik bukan karena kompetensi teknis atau kepemimpinan nyata, mereka cenderung mempertahankan budaya yang sama: menghargai citra, bukan substansi.
Ini menciptakan lingkaran setan. Pemimpin hasil sugar coating akan cenderung memilih bawahan yang "mudah diajak bicara" dan "selalu positif" alias, yang juga suka memaniskan realitas. Lambat laun, organisasi kehilangan kemampuan untuk menghadapi kebenaran yang tidak nyaman, dan inovasi pun mandek.
Menuju Budaya yang Menghargai Kejujuran, Bukan Kemanisan
Menghentikan dominasi sugar coating bukan berarti menghilangkan keramahan atau empati di tempat kerja. Justru sebaliknya: komunikasi yang sehat membutuhkan keberanian untuk jujur dengan cara yang tetap menghargai. Ini adalah seni memberi umpan balik yang tajam namun tidak menyakitkan, kritis namun solutif.
Organisasi perlu membangun sistem yang melindungi kejujuran melalui pelatihan manajerial, penilaian 360 derajat yang anonim, serta budaya psikologis yang aman. Atasan harus secara eksplisit menyatakan bahwa mereka lebih menghargai kebenaran daripada pujian. Dan yang paling penting: promosi harus didasarkan pada bukti nyata hasil kerja, dampak bisnis, kemampuan memimpin dalam tekanan, bukan pada seberapa sering seseorang tersenyum saat menyebut nama bos.
Karena pada akhirnya, kompetensi tidak tumbuh di tanah yang dipupuk pujian palsu, tapi di lahan yang disirami kejujuran, tantangan, dan keberanian untuk berkata: "Ini belum cukup baik, kita bisa lebih baik lagi."
Dan sistem merit yang sejati bukanlah yang memberi kursi kepada yang paling manis bicaranya, tapi kepada yang paling tangguh dalam bertindak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI