Ini menciptakan lingkaran setan. Pemimpin hasil sugar coating akan cenderung memilih bawahan yang "mudah diajak bicara" dan "selalu positif" alias, yang juga suka memaniskan realitas. Lambat laun, organisasi kehilangan kemampuan untuk menghadapi kebenaran yang tidak nyaman, dan inovasi pun mandek.
Menuju Budaya yang Menghargai Kejujuran, Bukan Kemanisan
Menghentikan dominasi sugar coating bukan berarti menghilangkan keramahan atau empati di tempat kerja. Justru sebaliknya: komunikasi yang sehat membutuhkan keberanian untuk jujur dengan cara yang tetap menghargai. Ini adalah seni memberi umpan balik yang tajam namun tidak menyakitkan, kritis namun solutif.
Organisasi perlu membangun sistem yang melindungi kejujuran melalui pelatihan manajerial, penilaian 360 derajat yang anonim, serta budaya psikologis yang aman. Atasan harus secara eksplisit menyatakan bahwa mereka lebih menghargai kebenaran daripada pujian. Dan yang paling penting: promosi harus didasarkan pada bukti nyata hasil kerja, dampak bisnis, kemampuan memimpin dalam tekanan, bukan pada seberapa sering seseorang tersenyum saat menyebut nama bos.
Karena pada akhirnya, kompetensi tidak tumbuh di tanah yang dipupuk pujian palsu, tapi di lahan yang disirami kejujuran, tantangan, dan keberanian untuk berkata: "Ini belum cukup baik, kita bisa lebih baik lagi."
Dan sistem merit yang sejati bukanlah yang memberi kursi kepada yang paling manis bicaranya, tapi kepada yang paling tangguh dalam bertindak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI