Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

[1] Bahaya Sugar Caoting di Dunia Kerja

3 Oktober 2025   09:30 Diperbarui: 3 Oktober 2025   10:13 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Dalam budaya kerja yang tinggi power distance (jarak kekuasaan), seperti di banyak perusahaan Asia, sugar coating sering dianggap sebagai bentuk "hormat". Tapi apakah hormat yang dibangun di atas kepalsuan layak disebut hormat?

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Dampak Jangka Panjang: Manis Sekilas, Pahit Selamanya

Meski terasa nyaman dalam jangka pendek, sugar coating membawa racun sistemik: Pertama, Tim kehilangan kepercayaan. Ketika satu orang dianggap "penjilat", seluruh dinamika tim retak. Kolaborasi berubah jadi kompetisi diam-diam: siapa yang paling pandai menyenangkan bos?

Kedua, Atasan jadi buta realitas. Jika semua laporan terdengar sempurna, bagaimana pemimpin bisa mengambil keputusan yang tepat? Mereka jadi hidup dalam gelembung ilusi dan ketika krisis datang, semuanya runtuh sekaligus.

Ketiga, Kinerja menurun, tapi tak terdeteksi. Karyawan yang seharusnya diberi masukan justru terus dipuji. Akibatnya, kesalahan berulang, proyek gagal, dan inovasi mandek, semua karena tidak ada yang berani bicara jujur.

Keempat, Orang jujur jadi korban. Mereka yang berani menyampaikan fakta sering dianggap "negatif", "sulit diajak kerja sama", atau bahkan "tidak loyal". Padahal, merekalah yang sebenarnya peduli pada keberlangsungan organisasi.

Lalu, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Jika kamu melihat rekan kerja yang gemar sugar coating: Jangan langsung menghakimi. Coba pahami akar masalahnya. Apakah ia takut? Insecure? Atau memang strategi sadar? Jika memungkinkan, ajak bicara empat mata dengan empati, bukan untuk menegur, tapi untuk membangun kesadaran.

Jika kamu sendiri pernah melakukannya: Tidak apa-apa mengakui. Kita semua pernah berusaha "menyenangkan" demi rasa aman. Tapi mulailah beralih ke komunikasi yang autentik. Ganti pujian generik dengan apresiasi spesifik: "Saya suka bagaimana Bapak tetap tenang saat klien marah tadi, itu menginspirasi saya untuk belajar mengelola emosi."
Jauh lebih tulus, dan jauh lebih berarti.

Jika kamu seorang pemimpin: Ciptakan ruang aman untuk kejujuran. Katakan dengan tegas: "Saya lebih suka kritik yang jujur daripada pujian yang palsu." Beri contoh dengan menerima masukan tanpa defensif. Dan yang terpenting: hargai mereka yang berani bicara kebenaran, bukan hanya yang pandai memuji.

Penutup: Karier yang Tulus, Lebih Tahan Lama

Jabatan idaman memang menggiurkan. Tapi apakah layak diraih dengan mengorbankan integritas?
Sugar coating mungkin membawamu naik tapi seperti gula berlebih, ia akan merusak fondasi kariermu dari dalam. Kepercayaan, reputasi, dan kredibilitas adalah aset yang jauh lebih berharga daripada pujian sesaat.

Di dunia kerja yang semakin transparan dan kolaboratif, yang bertahan bukanlah yang paling manis, tapi yang paling otentik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun