Dalam filsafat pendidikan Paulo Freire, ada dua model komunikasi. Model banking, di mana pejabat menyetor kebijakan dan rakyat hanya menerimanya, sering kali membuat rakyat merasa diperlakukan seperti objek.
Sebaliknya, model dialogis mengajak rakyat berdiskusi dan berkolaborasi menciptakan solusi bersama. Sayangnya, di Indonesia, banyak pejabat masih terjebak dalam model banking. Contohnya, saat pandemi, pejabat kesehatan mengatakan, "Vaksin aman, tidak usah takut," tanpa mengakui ketakutan warga. Akibatnya, muncul hoaks dan ketidakpercayaan.
Sebaliknya, pendekatan yang lebih manusiawi dan dialogis seperti yang dilakukan Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, terbukti lebih efektif. Ia tidak hanya bilang, "Vaksin aman," tetapi juga berbagi pengalaman pribadi, "Saya juga takut saat pertama divaksin. Tapi lihat tenaga kesehatan kita, mereka percaya pada ilmuwan. Mari kita percayai mereka bersama."
Pendekatan ini meningkatkan tingkat vaksinasi secara drastis dan membuat rakyat merasa dihargai, bukan dihakimi.
Kunci dari semua ini adalah, komunikasi yang pedagogis dan penuh empati mampu memulihkan martabat. Saat pejabat berani mengakui kerentanannya, mereka tidak melemahkan otoritas, malah membangun kepercayaan. Ketika mereka mengajak rakyat untuk bersama-sama mencari solusi, mereka mengubah rakyat dari objek menjadi subjek dalam proses pembangunan.
Tiga Langkah Sederhana
Ada tiga langkah sederhana yang bisa kita lakukan agar berbicara seperti guru bangsa. Pertama, gantilah kata "harus" dengan "mari." Alih-alih memerintah, ajaklah rakyat berkolaborasi. Kata "harus" sering memicu reaksi defensif, sedangkan "mari" menciptakan rasa memiliki dan kepercayaan bersama. Kedua, akui ketakutan mereka, jangan disangkal.
Ketika rakyat merasa didengar dan dimengerti, ketegangan berkurang, dan mereka lebih terbuka untuk mencari solusi. Ketiga, gunakan metafora yang menyentuh hati, menggambarkan kebijakan atau situasi dengan bahasa yang menyentuh imajinasi dan perasaan mereka, sehingga pesan lebih mudah diterima dan diingat.
Contoh nyata, di Surabaya tahun 2015 saat banjir besar melanda. Wali Kota Tri Rismaharini tidak berkata, "Ini musibah, rakyat harus siap." Ia mengungkapkan, "Hari ini, saya kehilangan sepatu di genangan air. Saya tahu Ibu di Sememi kehilangan warungnya. Tapi besok pagi, saya akan bersama kalian membersihkan lumpur."
Dengan kata-kata ini, ia mengubah narasi dari sekadar korban menjadi pejuang, dan hasilnya, warga berbondong-bondong turun membantu membersihkan kota. Surabaya pun pulih dengan cepat.
Kata-Kata adalah Benih
Akhirnya, ingatlah pepatah Tiongkok: "Orang bijak tidak berbicara banyak, tetapi kata-katanya seperti benih, tumbuh menjadi pohon yang memberi naungan." Pejabat yang bijak bukan yang pandai berdebat, tapi yang mampu membuat rakyat merasa dipahami dan dihargai. Mereka berani mengakui kelemahan dan mengajak rakyat bekerja sama.