Kata-kata yang Mengajarkan: Ketika Pejabat Berbicara dengan Hati, Bukan Hanya dengan Data
Â
Ada sebuah cerita kuno dari Jepang tentang seorang sensei yang mengajarkan muridnya bermeditasi. Suatu hari, murid itu datang dengan wajah murung dan mengeluh, "Guru, saya gagal lagi. Napas saya kacau, pikiran saya tidak tenang. Apa saya memang tidak berbakat?"
Sang sensei hanya tersenyum dan meletakkan segelas air di depannya. "Lihatlah air ini," katanya perlahan. "Kalau kau kocok terus, air ini akan jadi keruh. Tapi jika kau diam dan bersabar, ia akan kembali jernih sendiri."
Dari cerita ini, kita bisa belajar bahwa komunikasi pejabat seharusnya seperti itu. Bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi menciptakan ruang agar pesan itu bisa mengalir jernih, menyentuh hati, dan membangun kepercayaan. Bicaralah dengan hati, bukan hanya dengan data.
Bahasa yang Memecah vs. Bahasa yang Menyatukan: Perspektif Psikologi Reflektif
Sayangnya, sering kita mendengar pernyataan pejabat yang terasa seperti tamparan keras yang menghancurkan hubungan. "Rakyat harus sabar." "Ini urusan kecil, jangan dibesar-besarkan." "Kalau tidak setuju, ya jangan pakai."
Kalimat-kalimat ini bukan hanya kasar, tetapi juga merusak jembatan kepercayaan. Dari sudut pandang psikologi reflektif, bahasa semacam ini seperti palu yang memaksa orang lain patuh, tanpa memperhatikan emosi dan pengalaman mereka.
Ketika rakyat mendengar kalimat yang arogan, otak mereka merespons dengan cara tertentu. Mereka merasa diabaikan, merasa emosi mereka tidak dihargai. Hal ini memicu stres kronis dan kecemasan jangka panjang, sebagaimana studi dari UCLA tahun 2021 menunjukkan. Mereka juga bisa berhenti berbicara dan berpartisipasi, lalu beralih ke protes atau apatis. Seperti cermin retak, satu kalimat kasar bisa merusak citra institusi secara permanen.
Contohnya, saat Menteri Pariwisata tahun 2017 mengatakan, "Kalau tidak suka Bali, ke Singapura saja," kunjungan wisatawan lokal menurun drastis. Demikian pula, saat Gubernur DKI 2019 menyebut, "Orang miskin jangan tinggal di Jakarta," kepercayaan warga terhadap kebijakan kota pun menurun.
Bahasa yang Menyembuhkan
Lalu, bagaimana seharusnya kita berbicara? Di Jepang, ada contoh dari Perdana Menteri Fumio Kishida yang menghadapi krisis inflasi tahun 2023. Alih-alih berkata, "Harga naik itu wajar," ia mengungkapkan empati dan solusi nyata. "Saya tahu Ibu-Ibu di pasar meremas dompet sampai tangan berkerut. Besok, kami akan turunkan harga telur, bukan hanya janji, tapi dengan tindakan." Hasilnya? Kepercayaan publik meningkat 15%, dan partisipasi dalam program subsidi mencapai 80%.
Mengapa pendekatan ini efektif? Karena Kishida menggunakan psikologi reflektif: mengakui emosi rakyatnya, menawarkan solusi konkret, dan mengajak mereka berkolaborasi. Ia tidak merendahkan mereka, melainkan mengundang mereka untuk bersama-sama mencari jalan keluar.