Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[perpisahan] 38 Tahun Menyusun Angka dengan CINTA

30 September 2025   21:36 Diperbarui: 30 September 2025   21:36 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto bersama Ibu Atiek, camera: Ibu Rohmah)

Dari pernikahan sederhana itu, lahir dua anak: seorang putra (3 Agustus 1994) dan putri (3 tahun 3 minggu kemudian). Mereka membangun rumah tangga dengan modal dengkul, benar-benar dari nol. Tapi dengan kerja keras, doa istiqomah, dan prinsip hidup yang teguh, keluarga kecil itu tumbuh dalam kebahagiaan yang sederhana namun utuh.

Yang paling membanggakan: kedua anaknya melebihi pencapaian orang tua. Anak sulung kini menjadi PPPK di RRI Yogyakarta sebagai teknisi lembaga penyiaran publik, telah berkeluarga, dan dikaruniai seorang putra berusia 3 tahun 4 bulan. Anak perempuan menjadi ASN di lingkungan Kementerian Keuangan Yogyakarta, dan baru saja dikaruniai anak kembar perempuan, dua malaikat kecil yang melengkapi sukacita keluarga.

(Ibu Atiek menerima ucapan terima kasih dari Ibu Lilik, mewakili keluarga besar Karya Rini, dokpri)
(Ibu Atiek menerima ucapan terima kasih dari Ibu Lilik, mewakili keluarga besar Karya Rini, dokpri)

***

Sementara itu, di SMK Karya Rini, Ibu Atiek terus bekerja, diam, tekun, setia. Selama 38 tahun, di bagian Tata Usaha, ia bukan hanya mencatat angka. Ia menuliskan kepercayaan.

Setiap rupiah yang masuk dari orang tua siswa (entah dari keluarga petani, guru, dokter, pegawai, pedagang kecil, atau buruh pabrik) ia catat dengan tangan yang tak pernah gemetar oleh kelelahan. Ia arsipkan dengan rapi, susun berkas demi berkas, dan pastikan tak satu pun sen pun menguap tanpa pertanggungjawaban. Di era ketika sistem digital belum merambah sekolah-sekolah pinggiran, ia adalah arsitek keuangan yang bekerja dengan pena, buku besar, dan hati yang jujur.

Bukan pekerjaan mudah. Ratusan transaksi per bulan, ratusan nama siswa yang berganti tiap tahun, dan tanggung jawab moral yang tak tertulis, mengelola uang siswa dengan integritas mutlak. Tapi Ibu Atiek melakukannya bukan karena kewajiban, melainkan karena cinta. Cinta pada sekolah yang menjadi rumah keduanya. Cinta pada para guru yang ia anggap saudara. Cinta pada generasi muda yang pendidikannya ia bantu jaga, bahkan dari balik meja yang sunyi.

Kadang dari balik loker kecil dekat meja kerjanya ia tersenyum pada guru yang menyapanya atau siswa yang antre di bangku depan jendelanya untuk menitipkan kepercayaan dari orang tua mereka. Atau setiap Selasa dan Kamis kala saya menyapanya dengan sebutan "Budhe", ia akan tersenyum merekah yang bisa meluluhkan penat dan kesal sehabis menghadapi siswa yang super kreatif.

Dalam sambutannya mewakili segenap keluarga besar Karya Rini, Kepala Sekolah Ibu Lilik Manowati Zulia, S.Pd. menyebut Ibu Atiek sebagai "tulang punggung" SMK Karya Rini. "Dokumentasi keuangannya rapi seperti karya seni," katanya, suara bergetar menahan haru seraya membanggakan masa sekolah Bu Atiek yang rupanya diketahuinya. "Setiap angka punya cerita, dan Ibu Atiek menulisnya dengan ketelitian luar biasa, tanpa cacat, tanpa cela. Itu bukan sekadar pekerjaan. Itu ibadah."

Di hadapan rekan-rekan yang telah menjadi keluarga selama puluhan tahun, Ibu Atiek duduk tenang, matanya berkaca-kaca. Lalu saat memberi sambutan, dengan suara pelan namun penuh keyakinan, ia mengucap syukur kepada Allah SWT atas kesehatan dan kesempatan untuk terus mengabdi. "Saya mohon maaf lahir dan batin," ujarnya, "jika pernah ada kata yang menyakiti, sikap yang kurang berkenan. Saya hanya manusia biasa." Kata-kata yang penuh kerendahan hati.

Namun, dalam kesederhanaannya, ia meninggalkan warisan luar biasa: tradisi kejujuran, ketelitian, dan pelayanan tanpa pamrih. Ia membuktikan bahwa pekerjaan administratif (yang mungkin sering dianggap remeh) bisa menjadi ladang amal jika dikerjakan dengan hati.

(Ibu Atiek, mohon pamit, dokpri)
(Ibu Atiek, mohon pamit, dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun