Literasi 73,52%: Angka di Kertas atau Cermin Kehidupan Nyata?
Refleksi Mendalam tentang Kesenjangan Literasi Antara Rakyat dan Pejabat dan Kaitannya dengan Pendidikan Bermutu
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang gemar membaca." (Soekarno)Â
Kalimat ini sering diulang-ulang, terutama oleh pejabat dalam momen Hari Buku atau Hari Pendidikan. Tapi, pernahkah kita berhenti bertanya: apakah angka Indeks Pembangunan Literasi Masyarakata (IPLM) tahun 2024 sebesar 73,52% benar-benar mencerminkan kondisi nyata bangsa ini? Ataukah angka tersebut hanya sekadar angka indah yang tertera di atas kertas, lahir dari definisi sempit dan metode pengukuran yang bias?
Lebih jauh lagi: bagaimana mungkin kita mencapai literasi bermakna jika sistem pendidikan kita (yang seharusnya menjadi pabrik utama literasi) masih jauh dari bermutu? Artikel ini mencoba menyelami secara kritis apa arti angka tersebut, bagaimana realitas budaya baca di masyarakat, kondisi literasi di kalangan elit, dan yang tak kalah penting: mengapa pendidikan bermutu adalah prasyarat mutlak bagi literasi yang sesungguhnya.
Memahami Angka 73,52%: Lebih dari Sekadar Membaca Buku
Angka 73,52% merupakan hasil dari indeks yang dirilis oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Angka ini menunjukkan tingkat literasi masyarakat Indonesia tahun 2023, naik dari 70,69% pada tahun sebelumnya. Tapi, apa sebenarnya yang diukur?
Indeks ini tidak hanya mengukur kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga meliputi literasi informasi dan digital. Artinya, seseorang yang sekadar tahu cara mengakses berita di media sosial, menonton video edukatif di YouTube, atau mengisi formulir online sudah termasuk dalam kategori "melek literasi."
Di satu sisi, ini adalah pencapaian yang patut diapresiasi. Angka buta aksara yang dulu tinggi kini menurun drastis. Akan tetapi, di sisi lain, definisi luas ini mengaburkan perbedaan mendasar antara literasi fungsional dan literasi kritis yang melibatkan kemampuan berpikir analitis, mempertanyakan kekuasaan, dan membangun wawasan yang mendalam.
Namun, di balik angka ini, tersembunyi krisis sistemik: pendidikan kita belum mampu menghasilkan pembelajar seumur hidup. Siswa diajarkan untuk menghafal demi ujian, bukan untuk memahami; untuk menjawab soal pilihan ganda, bukan untuk merumuskan pertanyaan besar. Akibatnya, meski secara teknis "melek huruf", banyak lulusan sekolah tidak memiliki kebiasaan membaca di luar kurikulum, apalagi membaca buku pemikiran, filsafat, atau karya klasik yang menantang akal budi.
Pendidikan bermutu (yang menekankan learning mindset, deep learning, dan pembelajaran berbasis refleksi) adalah satu-satunya jalan untuk mengubah literasi dari sekadar keterampilan teknis menjadi kebiasaan intelektual dan moral. Tanpa itu, angka 73,52% hanyalah ilusi statistik.
Kondisi Pejabat dan Elite: Di Mana Posisi Mereka?
Sayangnya, tidak ada data resmi yang mengukur tingkat literasi pejabat publik secara khusus. Baik di tingkat pusat maupun daerah, tidak ada pengukuran yang sistematis terhadap kemampuan literasi anggota DPR, gubernur, bupati, atau pejabat eselon lainnya.