Membaca sebagai Etika Kepemimpinan: Sebuah Kajian Filosofis tentang Kewajiban Moral Pejabat Publik untuk Membaca Buku Sosial dan Kenegaraan
"Seorang raja yang tidak membaca buku adalah raja yang buta. Ia memerintah dengan telinga orang lain, bukan dengan matanya sendiri." - Adaptasi dari Ibn Khaldun
Ketika Kekuasaan Tak Lagi Ditemani Hikmah
Di tengah arus informasi yang deras dan polarisasi wacana publik yang semakin tajam, muncul pertanyaan filosofis yang mendesak: mengapa pejabat publik (mereka yang diberi mandat untuk mengelola kehidupan bersama) harus membaca buku, khususnya yang berkaitan dengan tema sosial, kemasyarakatan, dan kenegaraan?
Apakah ini sekadar soal "tidak kalah pintar dari masyarakat"? Ataukah ini tentang menghindari kesalahan tragis seperti membredel atau menyita buku tanpa memahami isinya, sebuah ironi di mana mereka yang seharusnya melindungi kebebasan justru menjadi algojo pikiran?
Jawaban filosofisnya jauh lebih dalam: membaca bukanlah pilihan intelektual, melainkan kewajiban moral. Dalam tradisi filsafat politik, kepemimpinan publik tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab epistemik, kewajiban untuk mengetahui dengan benar sebelum bertindak. Dan dalam dunia yang kompleks, pengetahuan itu tidak datang dari insting, media sosial, atau briefing singkat, melainkan dari dialog panjang dengan gagasan-gagasan besar yang telah diuji oleh waktu.
Membaca sebagai Prasyarat untuk Phronesis: Kebijaksanaan Praktis dalam Aristoteles
Dalam karya Nikomakheia Ethika, Aristoteles membedakan tiga bentuk pengetahuan yang memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, yaitu Epistm, Techn, dan Phronsis. Epistm merujuk pada pengetahuan ilmiah atau pengetahuan yang bersifat teoritis dan didasarkan pada kebenaran yang dapat dibuktikan secara rasional, seperti ilmu pengetahuan dan filsafat.
Techn, di sisi lain, adalah keterampilan teknis atau keahlian praktis yang diperoleh melalui latihan dan pengalaman, seperti kerajinan tangan atau seni. Sedangkan Phronsis, yang sering diterjemahkan sebagai kebijaksanaan praktis, merupakan bentuk pengetahuan yang berkaitan dengan kemampuan membuat keputusan bijaksana dalam kehidupan sehari-hari, berdasarkan pengalaman dan penilaian moral.
Ketiga bentuk pengetahuan ini saling melengkapi dan penting untuk mencapai kehidupan yang baik dan bermakna menurut perspektif Aristoteles.
Bagi Aristoteles, seorang pemimpin ideal bukanlah ilmuwan atau teknokrat, melainkan seseorang yang memiliki phronesis, kemampuan untuk memutuskan apa yang baik dalam konteks tertentu, dengan mempertimbangkan keadilan, kebaikan bersama (common good), dan kompleksitas manusia.
Buku-buku sosial dan kenegaraan adalah laboratorium phronesis. Melalui membaca karya-karya seperti The Social Contract (Rousseau), Democracy in America (Tocqueville), atau Pedagogy of the Oppressed (Freire), seorang pejabat tidak hanya mengumpulkan data, tetapi melatih imajinasi moralnya, kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain, memahami akar ketidakadilan, dan merancang kebijakan yang tidak hanya efisien, tapi juga adil.