Ketiga, Karakter yang Simbolik dan Kuat. Setiap tokoh mewakili tipe sosial tertentu: Napoleon (pemimpin otoriter), Snowball (intelektual idealis), Boxer (rakyat pekerja), Squealer (media manipulatif). Ini memudahkan pembaca mengenali pola kekuasaan dalam kehidupan nyata.
Keempat, Bahasa yang Ringkas dan Efektif. Novel ini hanya 144 halaman, namun padat makna. Cocok untuk Gen Z yang terbiasa dengan konten cepat tapi mendalam.
Kekurangan Buku Animal Farm
Pertama, Sudut Pandang yang Sangat Hitam-Putih. Orwell menggambarkan manusia sebagai "musuh mutlak" dan binatang sebagai "korban murni". Dalam realitas politik modern, batas antara penindas dan yang tertindas seringkali kabur dan hal ini tidak dieksplorasi secara mendalam.
Kedua, Minimnya Representasi Perempuan. Tokoh perempuan seperti Clover dan Mollie hanya berperan sebagai pelengkap. Tidak ada tokoh perempuan yang menjadi agen perubahan atau kekuatan intelektual, sebuah kelemahan dari perspektif feminis.
Ketiga, Akhir yang Pesimistis Tanpa Jalan Keluar. Novel ini berakhir dengan kekalahan total idealisme. Tidak ada petunjuk bagaimana rakyat bisa bangkit lagi, yang bisa membuat pembaca muda merasa putus asa, bukan termotivasi.
Keempat, Konteks Sejarah yang Perlu Penjelasan Tambahan. Tanpa latar belakang Revolusi Rusia dan Stalinisme, pembaca mungkin kehilangan kedalaman makna. Untuk itu, edisi terjemahan Indonesia sangat diuntungkan dengan catatan penerjemah Prof. Bakdi Soemanto.
Relevansi bagi Politik Indonesia: Gen Z dan Kewaspadaan Digital
Bagi Gen Z Indonesia, generasi yang tumbuh di tengah banjir informasi, media sosial, dan polarisasi politik, Animal Farm menawarkan alat kritis yang sangat relevan:
Pertama, Bahaya Narasi Tunggal dan Manipulasi Fakta. Squealer dalam Animal Farm adalah arsitek propaganda: ia mengubah sejarah, memutarbalikkan fakta, dan meyakinkan binatang bahwa kelaparan adalah kemakmuran. Di Indonesia, Gen Z sering dihadapkan pada narasi politik yang dikemas manis lewat konten viral, buzzer, dan algoritma yang memperkuat bias.
"Kalau kamu tidak percaya pada kami, Jones akan kembali!" (Squealer)
Kalimat ini mirip dengan narasi politik kontemporer: "Kalau bukan kami, siapa lagi?" atau "Kalau bukan dia, nanti kacau!" Gen Z perlu belajar membaca di balik narasi, memverifikasi sumber, dan tidak mudah terbuai oleh retorika emosional.