Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Satu Dekade Laudato Si': Ketika "Energi Bersih" Justru Menimbulkan Konflik di Tanah Air

11 September 2025   20:41 Diperbarui: 11 September 2025   20:41 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu Dekade Laudato Si': Ketika "Energi Bersih" Justru Menimbulkan Konflik di Tanah Air

Pernahkah Anda mendengar tentang "Laudato Si'"? Mungkin tidak asing bagi yang sering mendengar berita tentang Paus Fransiskus. Ini adalah sebuah surat penting yang dikeluarkan oleh Paus pada 2015, yang secara sederhana berarti "Terpujilah Engkau" dalam bahasa Italia kuno. Tapi jangan salah, dokumen ini bukan hanya untuk umat Katolik, ia menyasar semua orang yang peduli pada bumi kita.

Dari Surat Gembala Menjadi Suara Hati bagi Bumi

Sepuluh tahun sudah berlalu sejak Laudato Si' diterbitkan, dan ternyata pesannya semakin relevan bagi Indonesia. Paus Fransiskus tidak hanya berbicara tentang lingkungan, tapi mengajak kita semua melihat masalah ekologi sebagai krisis yang terkait erat dengan ketimpangan sosial. Ia menyebutnya "Ekologi Integral", sebuah konsep yang mengingatkan kita bahwa bumi dan manusia tak bisa dipisahkan.

Dalam Laudato Si', Paus menyampaikan dengan jelas: "Kaum miskin dan bumi sedang menangis." Kalimat ini begitu kuat karena menunjukkan fakta bahwa mereka yang paling menderita akibat kerusakan lingkungan justru adalah mereka yang paling sedikit berkontribusi pada masalah tersebut.

Paradoks Energi Panas Bumi: "Bersih" di Kertas, Bermasalah di Lapangan

Indonesia, dengan potensi panas buminya yang besar, sering mempromosikan energi geotermal sebagai solusi "bersih" untuk transisi energi. Pemerintah bahkan sudah menyiapkan dana triliunan rupiah untuk mengembangkan sektor ini. Tapi, seperti kata pepatah, "di balik layar yang indah, ada kisah yang tak selalu cerah."

Mari kita lihat beberapa contoh nyata:

Pertama, Poco Leok, NTT: Proyek panas bumi di sini justru memicu kriminalisasi terhadap lima pemuda adat yang menolak proyek tanpa izin masyarakat. Alih-alih dialog, pemerintah dan perusahaan malah menggunakan pendekatan represif.

Kedua, Pulau Buru, Maluku: Warga Desa Wapsalit terpaksa mengungsi ke hutan karena takut dengan getaran dan ledakan dari aktivitas eksplorasi. Tempat-tempat sakral mereka terancam, dan akses ke kebun terganggu.

Ketiga, Sorik Marapi, Sumatera Utara: Warga sering mengalami keracunan gas beracun dari pembangkit listrik panas bumi. Banyak yang sakit, lahan pertanian rusak, dan air tercemar. Tragisnya, ada yang sampai meninggal.

Keempat, Mataloko, NTT: Semburan lumpur akibat pengeboran membuat lahan pertanian tidak produktif dan menyebabkan penyakit kulit pada warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun