Satu Dekade Laudato Si': Ketika "Energi Bersih" Justru Menimbulkan Konflik di Tanah Air
Pernahkah Anda mendengar tentang "Laudato Si'"? Mungkin tidak asing bagi yang sering mendengar berita tentang Paus Fransiskus. Ini adalah sebuah surat penting yang dikeluarkan oleh Paus pada 2015, yang secara sederhana berarti "Terpujilah Engkau" dalam bahasa Italia kuno. Tapi jangan salah, dokumen ini bukan hanya untuk umat Katolik, ia menyasar semua orang yang peduli pada bumi kita.
Dari Surat Gembala Menjadi Suara Hati bagi Bumi
Sepuluh tahun sudah berlalu sejak Laudato Si' diterbitkan, dan ternyata pesannya semakin relevan bagi Indonesia. Paus Fransiskus tidak hanya berbicara tentang lingkungan, tapi mengajak kita semua melihat masalah ekologi sebagai krisis yang terkait erat dengan ketimpangan sosial. Ia menyebutnya "Ekologi Integral", sebuah konsep yang mengingatkan kita bahwa bumi dan manusia tak bisa dipisahkan.
Dalam Laudato Si', Paus menyampaikan dengan jelas: "Kaum miskin dan bumi sedang menangis." Kalimat ini begitu kuat karena menunjukkan fakta bahwa mereka yang paling menderita akibat kerusakan lingkungan justru adalah mereka yang paling sedikit berkontribusi pada masalah tersebut.
Paradoks Energi Panas Bumi: "Bersih" di Kertas, Bermasalah di Lapangan
Indonesia, dengan potensi panas buminya yang besar, sering mempromosikan energi geotermal sebagai solusi "bersih" untuk transisi energi. Pemerintah bahkan sudah menyiapkan dana triliunan rupiah untuk mengembangkan sektor ini. Tapi, seperti kata pepatah, "di balik layar yang indah, ada kisah yang tak selalu cerah."
Mari kita lihat beberapa contoh nyata:
Pertama, Poco Leok, NTT: Proyek panas bumi di sini justru memicu kriminalisasi terhadap lima pemuda adat yang menolak proyek tanpa izin masyarakat. Alih-alih dialog, pemerintah dan perusahaan malah menggunakan pendekatan represif.
Kedua, Pulau Buru, Maluku: Warga Desa Wapsalit terpaksa mengungsi ke hutan karena takut dengan getaran dan ledakan dari aktivitas eksplorasi. Tempat-tempat sakral mereka terancam, dan akses ke kebun terganggu.
Ketiga, Sorik Marapi, Sumatera Utara: Warga sering mengalami keracunan gas beracun dari pembangkit listrik panas bumi. Banyak yang sakit, lahan pertanian rusak, dan air tercemar. Tragisnya, ada yang sampai meninggal.
Keempat, Mataloko, NTT: Semburan lumpur akibat pengeboran membuat lahan pertanian tidak produktif dan menyebabkan penyakit kulit pada warga.