Kalau Gak Sanggup Jadi Pejabat, Serahkan Mandatnya!
Baru-baru ini, kita dihibur lagi oleh stand-up comedy ala pejabat publik. Bukan di panggung, tapi di podium. Bukan di Netflix, tapi di YouTube. Dan bukan karena lucu, tapi karena ngawurnya bikin nangis tertawa.
Mulai dari Menteri Agama yang bilang guru harus "suci di langit, suci di bumi", sampai pejabat lain yang nasehatin rakyat: "Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi." Wah, kayak lagi unfollow mantan aja, Bang. "Bye, jangan balik!"
Lalu ada yang bilang ancaman teror ke wartawan: "Ya udah, dimasak aja." Waduh, jadi bingung, ini pemerintah mau lindungi wartawan atau buka warung sate?
Dan yang paling ikonik? Sang Presiden pernah berkata: "Ndasmu!" di tengah pidato. Warga langsung pada nunduk. Bukan karena hormat, tapi takut kena headshot.
Pejabat vs. Diksi: Perang Batin yang Gak Ada Akhirnya
Kalau dilihat dari jauh, pejabat kita kayak superhero. Pakai dasi, bawa mic, pidato di depan bendera. Tapi kalau dengerin omongannya? Kayak anak kos yang habis kena tagihan listrik padahal gaji belum turun.
Mereka punya gelar, punya tim komunikasi, bahkan mungkin ada ahli pidato bayaran. Tapi tetap aja, ngomongnya seperti nggak pakai filter. Seolah-olah mikrofon itu bukan alat komunikasi, tapi mic test sebelum nyanyi dangdut di warung kopi.
"Kalau enggak sanggup, lebih baik serahkan mandatnya," kata si Menteri.
Warga: "Kalau Bapak enggak sanggup ngomong sopan, serahkan mic-nya dong!"
Bayangkan kalau guru balas begini:
"Kalau Bapak enggak sanggup jadi manusia biasa, lebih baik serahkan jabatannya. Soalnya 'suci di langit' itu kerjaannya malaikat, bukan menteri."
Empati? Apa Enaknya?
Kita paham, jadi pejabat itu berat. Harus mikir kebijakan, hadapi krisis, dan tentunya... selfie dengan rakyat. Tapi kalau soal empati, kayaknya banyak yang lupa bawa dari rumah.