Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

September Ceria Kembali: Menyanyikan Harapan di Tengah Luka Bangsa

3 September 2025   08:24 Diperbarui: 3 September 2025   08:24 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi orang sedang menyanyi, olahan Grok.AI, dokpri)

September Ceria Kembali: Menyanyikan Harapan di Tengah Luka Bangsa

Melihat situasi awal September yang menegangkan dengan demonstrasi (yang kadang menakutkan karena disusupi orang-orang yang suka memancing di air keruh perpolitikan negeri ini), saya teringat akan lagu September Ceria yang dinyanyikan dengan merdu oleh Vina Panduwinata. Melalalui esai prosa ini, saya mencoba mengajak kita semua untuk menggenggam optimisme dalam membangun bangsa ini secara lebih menggembirakan. 

***

Di tengah asap kekecewaan, di antara retaknya kepercayaan, dan derita rakyat yang masih menjerit, ada satu lagu yang perlu kita nyanyikan kembali,  bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai doa kolektif: "September Ceria" oleh Vina Panduwinata. Bukan hanya soal hujan yang datang setelah kemarau panjang, tapi tentang harapan yang kembali menghampiri jiwa yang letih.

Mari kita nyanyikan lagu ini bukan untuk melupakan luka, tapi untuk menyambut pulihnya Indonesia dengan hati yang terbuka, tangan yang bergandengan, dan tekad yang tak goyah.

Di Pucuk Kemarau Panjang... Kita Butuh Kesejukan

Lirik pertama lagu ini menyentak:
"Di pucuk kemarau panjang / yang bersinar menyakitkan..."
Tak ada yang bisa menyangkal bahwa Indonesia baru saja melewati musim yang panas. Bukan hanya secara iklim, tapi secara sosial, politik, dan emosional. Kemarau panjang itu bukan hanya tentang kekeringan di sawah, tapi kekeringan rasa keadilan, kepercayaan, dan kasih.

Kita menyaksikan demonstrasi yang berubah menjadi kerusuhan.
Fasilitas umum dibakar.
Rumah-rumah dijarah.
Pemimpin terlihat jauh.
Aparat dituduh represif.
Rakyat merasa tak didengar.

Dalam kemarau seperti ini, sinar matahari terasa menyakitkan. Setiap berita seolah membakar hati. Tapi justru di sinilah kita perlu percaya: kemarau tidak abadi. Dan ketika hujan datang, ia membawa kesejukan.

Lirik lagu pun berlanjut:
"Kau datang menghantar / berjuta kesejukan."
Siapa "kau"? Bisa jadi pemimpin yang akhirnya mendengar. Bisa jadi rakyat yang kembali berempati. Bisa jadi kita semua, yang memilih untuk berhenti menyalahkan, dan mulai memulihkan.

Kau Beri Warna bagi Kelabu Jiwaku

Bangsa ini pernah kelabu.
Kelabu karena ketidakadilan.
Kelabu karena korupsi yang tak kunjung usai.
Kelabu karena anak-anak putus sekolah, ibu-ibu mengantre BBM bersubsidi, dan buruh hidup dari upah yang tak cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun