September Ceria Kembali: Menyanyikan Harapan di Tengah Luka Bangsa
Melihat situasi awal September yang menegangkan dengan demonstrasi (yang kadang menakutkan karena disusupi orang-orang yang suka memancing di air keruh perpolitikan negeri ini), saya teringat akan lagu September Ceria yang dinyanyikan dengan merdu oleh Vina Panduwinata. Melalalui esai prosa ini, saya mencoba mengajak kita semua untuk menggenggam optimisme dalam membangun bangsa ini secara lebih menggembirakan.Â
***
Di tengah asap kekecewaan, di antara retaknya kepercayaan, dan derita rakyat yang masih menjerit, ada satu lagu yang perlu kita nyanyikan kembali, Â bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai doa kolektif: "September Ceria" oleh Vina Panduwinata. Bukan hanya soal hujan yang datang setelah kemarau panjang, tapi tentang harapan yang kembali menghampiri jiwa yang letih.
Mari kita nyanyikan lagu ini bukan untuk melupakan luka, tapi untuk menyambut pulihnya Indonesia dengan hati yang terbuka, tangan yang bergandengan, dan tekad yang tak goyah.
Di Pucuk Kemarau Panjang... Kita Butuh Kesejukan
Lirik pertama lagu ini menyentak:
"Di pucuk kemarau panjang / yang bersinar menyakitkan..."
Tak ada yang bisa menyangkal bahwa Indonesia baru saja melewati musim yang panas. Bukan hanya secara iklim, tapi secara sosial, politik, dan emosional. Kemarau panjang itu bukan hanya tentang kekeringan di sawah, tapi kekeringan rasa keadilan, kepercayaan, dan kasih.
Kita menyaksikan demonstrasi yang berubah menjadi kerusuhan.
Fasilitas umum dibakar.
Rumah-rumah dijarah.
Pemimpin terlihat jauh.
Aparat dituduh represif.
Rakyat merasa tak didengar.
Dalam kemarau seperti ini, sinar matahari terasa menyakitkan. Setiap berita seolah membakar hati. Tapi justru di sinilah kita perlu percaya: kemarau tidak abadi. Dan ketika hujan datang, ia membawa kesejukan.
Lirik lagu pun berlanjut:
"Kau datang menghantar / berjuta kesejukan."
Siapa "kau"? Bisa jadi pemimpin yang akhirnya mendengar. Bisa jadi rakyat yang kembali berempati. Bisa jadi kita semua, yang memilih untuk berhenti menyalahkan, dan mulai memulihkan.
Kau Beri Warna bagi Kelabu Jiwaku
Bangsa ini pernah kelabu.
Kelabu karena ketidakadilan.
Kelabu karena korupsi yang tak kunjung usai.
Kelabu karena anak-anak putus sekolah, ibu-ibu mengantre BBM bersubsidi, dan buruh hidup dari upah yang tak cukup.