Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

[mahasiswavsprovokator] Mendemo dengan Adab: Membangun Budaya Aspirasi Berperadaban

2 September 2025   11:53 Diperbarui: 2 September 2025   11:53 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan chat GPT, dokpri)

Mendemo dengan Adab: Membangun Budaya Aspirasi Berperadaban

Demonstrasi bukan musuh demokrasi, ia adalah nadi demokrasi. Tapi ketika jalan raya dipenuhi api, fasilitas umum dirusak, dan rumah warga dijarah, maka pertanyaan besar muncul: apakah kita masih mendemo demi keadilan, atau hanya melampiaskan amarah? Di tengah gejolak sosial yang memanas, inilah saatnya kita kembali ke akar: pendidikan politik berbasis karakter, agar suara rakyat tidak hanya keras, tapi juga bermartabat.

Pendidikan Politik yang Terputus: Antara PKN dan Realitas Jalanan

Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) di sekolah-sekolah memang ada. Tapi sering kali, ia hanya diajarkan sebagai hafalan: sila Pancasila, dasar negara, hak dan kewajiban warga negara. Tidak banyak ruang untuk diskusi kritis, tidak banyak pelatihan tentang bagaimana menjadi warga negara yang aktif, cerdas, dan beretika.

Akibatnya? Ketika siswa tumbuh menjadi remaja, mereka tahu bahwa mereka punya hak menyampaikan pendapat. Tapi tidak diajarkan bagaimana menyampaikannya dengan cara yang bijak, santun, dan konstruktif. Mereka tahu soal keadilan sosial, tapi tidak tahu bahwa merusak halte TransJakarta justru menghambat warga miskin naik angkutan umum. Mereka tahu soal perlawanan terhadap ketidakadilan, tapi tidak diajarkan bahwa perlawanan yang baik tidak melukai rakyat sendiri.

Pendidikan politik yang sejati bukan hanya soal tahu, tapi soal menjadi. Menjadi warga yang peduli, yang berani, tapi juga yang beradab.

Trilogi Pendidikan: Orang Tua, Sekolah, dan Negara Harus Berjalan Bersama

Tidak mungkin hanya sekolah yang menanggung beban ini. Orang tua adalah guru pertama. Di rumah, anak belajar soal kejujuran, empati, dan rasa malu. Jika di rumah, orang tua menghina pejabat dengan kata-kata kasar, atau menghasut "habisi mereka semua", maka jangan heran jika anak tumbuh dengan mental balas dendam, bukan dialog.

Sekolah punya peran besar: bukan hanya mengajar, tapi mendampingi. Melalui diskusi kelas, simulasi sidang, aksi damai terbimbing, atau debat kebijakan publik, siswa bisa belajar bahwa berdemo bukan soal kekerasan, tapi soal persuasi.

Dan negara? Negara harus hadir bukan hanya sebagai penegak hukum, tapi sebagai fasilitator pendidikan politik nasional. Kurikulum harus diperbarui. Guru harus dilatih. Media publik harus menyebarkan contoh-contoh demonstrasi damai, bukan hanya menyiarkan kerusuhan. Karena yang ditayangkan, akan ditiru.

(olahan chat GPT, dokpri)
(olahan chat GPT, dokpri)

Hak dan Kewajiban: Dua Sisi yang Tak Bisa Dipisahkan

Kita sering bicara soal hak: hak berpendapat, hak berkumpul, hak menuntut. Tapi jarang bicara soal kewajiban.
Kewajiban untuk tidak merusak.
Kewajiban untuk menghormati fasilitas umum.
Kewajiban untuk tidak menyeret keluarga tak bersalah ke dalam konflik.
Kewajiban untuk mendengar, bukan hanya berteriak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun