Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

[dpr] Gaji Tetap Mengalir, Tapi Hati Rakyat Sudah Pergi: Perlunya Etika dan Adab bagi Anggota Dewan

2 September 2025   08:43 Diperbarui: 2 September 2025   08:43 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan chat GPT, dokpri)

Gaji Tetap Mengalir, Tapi Hati Rakyat Sudah Pergi: Perlunya Etika dan Adab bagi Anggota Dewan

Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa dikeluarkan dari partai politiknya (seperti yang dialami Ahmad Sahroni dan Nafa Urbah: Nasdem; Uya Kuya dan Eko Patrio: PAN) karena pelanggaran disiplin, konflik internal, atau karena berbeda sikap dengan garis kebijakan partai. Namun, ironi hukum kita mencatat: penonaktifan sebagai kader partai tidak serta merta menghentikan statusnya sebagai wakil rakyat sampai ada penggantian antar waktu (PAW) dengan anggota yang baru. Ia tetap duduk di kursi empuk, tetap hadir dalam rapat-rapat penting, dan yang paling menyakitkan, tetap menerima gaji bulanan dari uang rakyat, meski secara politik ia sudah tak memiliki "rumah" yakni partai politiknya.

Di sinilah letak persoalan yang lebih dalam dari sekadar aturan administratif: soal etika, adab, dan rasa malu.
Karena sejatinya, anggota dewan bukan hanya pegawai negara yang digaji oleh negara, ia adalah wakil dari rakyat, yang dipilih oleh rakyat, dan seharusnya bekerja untuk rakyat. Rakyat adalah majikannya. Bukan partai. Bukan elite politik. Bukan mesin partai yang membiayai kampanye. Tapi rakyat yang berdiri di antrean pasar, yang naik angkutan umum, yang menghitung uang receh untuk makan malam.

Namun, begitu banyak dari mereka yang lupa. Begitu banyak yang, setelah duduk di Senayan, berbicara seolah rakyat adalah pengemis yang harus berterima kasih atas setiap kebijakan. Mereka melontarkan kalimat-kalimat yang menyakitkan:

"Yang ngomong DPR korup itu orang tolol!"
"Rakyat tidak usah ikut-ikut urusan anggaran!"
"Kalau tidak suka, silakan keluar dari Indonesia!"

Pernyataan seperti ini bukan sekadar cermin arogansi, ia adalah pengkhianatan terhadap kontrak moral demokrasi. Karena di balik setiap gaji bulanan yang mencapai ratusan juta rupiah per orang, ada jutaan wajah yang menahan lapar, menunda pengobatan, atau mengubur mimpi anaknya karena biaya sekolah naik. Dan ketika wakil rakyat malah menertawakan penderitaan itu, maka bukan hanya etika yang mati, martabat demokrasi ikut terbakar.

Betapa tragisnya, seorang pejabat yang digaji oleh rakyat malah memperlakukan rakyat sebagai musuh. Padahal, jika rakyat adalah majikan, maka anggota dewan adalah pegawainya. Dan bayangkan, bagaimana jika seorang pegawai malah memaki bosnya yang membayarnya? Apakah itu bisa diterima? Tentu tidak. 

[Tapi di negeri ini, hal itu terjadi setiap hari dan pelakunya justru dilindungi oleh sistem, oleh undang-undang. Mereka memiliki semacam kekebalan hukum. Ironi semacam ini perlu segera dibenahi agar Indonesia cepat melenting ke arah yang lebih maju, tidak berkubang terus pada sistem yang bisa diutak-atik demi kepentingan temporal. Jika perlu perlu ada peraturan yang membatasi kalau anggota dewan cukup dua periode saja dan tidak perlu mendapat pesangon sepanjang hidup. 

Prinsip keadilan perlu diberlakukan mulai dari regenerasi dalam tubuh partai agar yang duduk di kursi dewan tidak dia lagi dia lagi, atau muka yang itu-itu terus dari periode ke periode. Setiap anggota dewan perlu membuatkan nota kesepakatan dengan rakyat dapilnya tentang kunjungan kerja ke dapil: setahun berapa kali dan ada laporan aspirasi yang sudah disampaikan ke dewan secara lebih luas.]

Inilah mengapa etika dan adab harus menjadi syarat utama, bukan sekadar kemampuan pidato atau keterampilan lobi. Karena kekuasaan yang tidak diimbangi dengan kerendahan hati akan melahirkan tirani kecil-kecilan. Dan tirani itu tidak selalu datang dalam bentuk represi fisik, kadang ia datang dalam bentuk kata-kata yang merendahkan, sikap yang menyepelekan, dan tindakan yang mengabaikan.

Seorang anggota dewan yang bermartabat seharusnya: Berbicara dengan hormat, meski dikritik. Mendengar keluhan rakyat tanpa menganggapnya "hasutan". Mengingat bahwa gajinya bukan hak, tapi amanah. Dan jika ia merasa tidak lagi mewakili rakyat, maka ia harus punya cukup rasa malu untuk mundur.

Karena rakyat bukan lawan politik.
Rakyat adalah sumber legitimasi.
Rakyat adalah alasan mengapa parlemen berdiri.
Dan ketika seorang wakil rakyat lupa akan hal itu, maka ia bukan lagi wakil, ia hanya penumpang yang menumpang kekuasaan, sambil memaki tuan rumahnya sendiri.

(olahan chat GPT, dokpri)
(olahan chat GPT, dokpri)

Maka, mari kita tuntut lebih dari sekadar kinerja.
Mari kita tuntut adab.
Karena negara ini tidak hanya butuh hukum yang tegas, tapi juga pemimpin yang tahu cara bicara kepada rakyatnya: dengan sopan, dengan hormat, dan dengan cinta.
Sebab, gaji boleh tetap mengalir meski partai sudah usir.
Tapi kepercayaan rakyat?
Sekali hilang, sulit kembali.
Dan ketika rakyat diam, bukan berarti ia lupa.
Ia hanya sedang menulis sejarah tentang siapa yang layak duduk di Senayan, dan siapa yang seharusnya turun sendiri dari kursinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun