Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bintang Lumpuh: Ketika Koruptor Dimuliakan, Orang Waras Haruskah Diam Saja?

27 Agustus 2025   20:31 Diperbarui: 27 Agustus 2025   20:31 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan Grok.AI, dokpri)

Diam bukanlah solusi. Sejarah menunjukkan, setiap bangsa yang membiarkan korupsi menjadi norma akhirnya runtuh, dari Kerajaan Majapahit yang dikeropos KKN hingga Republik Weimar Jerman yang kolaps akibat korupsi struktural. Indonesia tidak boleh mengulangi nasib itu. Orang waras tidak boleh diam, bukan karena percaya pada keadilan instan, tetapi karena diam adalah bentuk kolaborasi diam-diam dengan kejahatan.

Ada tiga langkah yang harus diambil: Pertama, Reformasi sistem penghargaan negara: Bintang jasa harus diberikan berdasarkan kriteria transparan, dengan verifikasi independen yang melibatkan masyarakat sipil.

Kedua, Pemutusan hubungan korupsi-kekuasaan: Larangan mutlak bagi mantan koruptor untuk menduduki jabatan publik, seperti yang diterapkan di Singapura.

Ketiga, Pemulihan kepercayaan melalui pendidikan: Mengajarkan sejak dini bahwa kehormatan tidak lahir dari lencana, tapi dari integritas yang tak bisa dibeli.

Epilog: Bintang yang Layak untuk Rakyat

Bintang jasa sejatinya bukanlah milik mereka yang berdiri di podium istana. Ia adalah milik petani yang bertahan di lahan gersang, guru honorer yang mengajar tanpa bayaran, atau relawan yang merawat korban bencana tanpa pamrih. Mereka inilah pahlawan sebenarnya, yang tak pernah minta diarak, tapi terus berjalan di jalan berdebu demi sesama.

Saatnya kita bertanya: Apa arti sebuah bintang jika yang bersinar justru kegelapan? Orang waras tak perlu diam. Kebisuan hanya akan membuat lumpur korupsi semakin dalam. Di bawah langit yang sama, rakyat berhak menuntut bintang yang tak pernah tenggelam dalam kotoran kekuasaan.

"Kehormatan bukanlah hak yang bisa dibeli, melainkan utang yang harus dibayar dengan darah kejujuran."

Entah siapa pernah menuliskan ini, "Jangan jadi pahlawan yang diarak, tapi jadilah cahaya yang tak pernah padam." Tapi pesannya aktual ketika mantan napi koruptor disemat bintang jasa oleh negara. Jika kita mau jujur dari 114 orang yang menerima bintang jasa dari aneka kategori, mungkin tidak sampai 20 orang yang benar-benar layak mendapatkannya. Miris. Menyedihkan. Tapi itulah Indonesia, tanah air beta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun