Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[renungan] Pintu Sempit, Jalan Luas: Mengikuti Yesus di Tengah Dunia yang Berisik

24 Agustus 2025   09:20 Diperbarui: 24 Agustus 2025   09:20 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Pintu Sempit, Jalan Luas: Mengikuti Yesus di Tengah Dunia yang Berisik

Di tengah hiruk-pikuk zaman yang serba cepat, di mana nilai-nilai kerap terbalik dan kebenaran menjadi komoditas yang bisa ditawar, kita sering kali merasa tersesat, bukan karena tidak tahu jalan, tetapi karena terlalu banyak jalan yang menjanjikan.

Dalam hiruk pikuk itu, Yesus berdiri tenang, mengajak kita: "Usahakanlah segala cara untuk masuk melalui pintu sempit." (Lukas 13:24). Bukan jalan lebar yang ramai, bukan pintu yang gemerlap, tetapi jalan yang menyempit, yang menuntut komitmen, ketulusan, dan keberanian. Di Minggu ke-21 biasa, 24 Agustus 2025, Firman Tuhan mengajak kita merenungkan: Apakah kita benar-benar mengikuti Yesus di zaman ini atau hanya mengikuti arus?

Pintu Sempit yang Mengubah Hidup (Injil: Lukas 13:22-30)

Yesus sedang berjalan menuju Yerusalem, perjalanan terakhir-Nya yang penuh makna teologis dan spiritual. Di tengah jalan, seseorang bertanya: "Tuhan, adakah yang diselamatkan hanya sedikit?" Pertanyaan ini mengungkap kecemasan manusia sepanjang zaman: Apakah aku termasuk yang diselamatkan?

Tetapi Yesus tidak menjawab dengan angka atau statistik. Ia malah berkata: "Usahakanlah segala cara untuk masuk melalui pintu sempit." Pintu sempit bukan sekadar simbol kerendahan hati atau kesederhanaan, tetapi jalan yang meminta totalitas. Di zaman ini, pintu sempit itu adalah: Menolak kemudahan dosa yang ditawarkan teknologi, Menolak sikap apatis terhadap ketidakadilan, Menolak menjadi orang baik tanpa berani menjadi kudus.

Banyak yang akan berkata, "Kami makan dan minum bersama-Mu, Engkau mengajar di pasar kami...", tetapi itu tidak cukup. Pengenalan intelektual atau ritual keagamaan tidak menjamin keselamatan. Yang dibutuhkan adalah komitmen hidup yang berbuah kekudusan, belas kasih, dan keberanian menanggung salib.

Di zaman medsos yang penuh pencitraan, pintu sempit adalah ketika kita memilih jujur meski dihujat, memilih mengampuni meski sakit, memilih setia meski ditinggalkan.

Panggilan yang Tak Terduga: Dari Ujung Dunia ke Mezbah Tuhan (Bacaan Pertama: Yesaya 66:18-21)

Nabi Yesaya membawa penglihatan yang mengejutkan: Tuhan tidak hanya menyelamatkan Israel, tetapi "mengumpulkan segala bangsa dan bahasa" dari ujung bumi. Bahkan dari mereka, Tuhan akan memanggil imam dan orang-orang Lewi, hal yang dulu dianggap mustahil bagi bangsa asing.

Ini adalah kabar gembira yang radikal: Tuhan tidak membatasi keselamatan berdasarkan latar belakang, status, atau tradisi. Ia memanggil siapa pun yang hatinya terbuka. Di zaman ini, kita diajak melihat: Apakah kita masih membatasi siapa yang "layak" untuk melayani Tuhan? Apakah kita masih memandang rendah mereka yang datang dari luar "gereja yang benar"?

Tuhan sedang memanggil para pengembara, pecundang, yang merasa tidak pernah cukup baik, untuk menjadi pembawa terang. Bahkan dari antara mereka, Tuhan akan membuat "imam dan orang-orang Lewi."

Artinya: Tidak ada yang terlalu jauh, terlalu rusak, atau terlalu "asing" bagi rencana Allah. Jika kita mengikuti Yesus di zaman ini, kita harus menjadi gereja yang terbuka, bukan eksklusif, bukan elitis, tetapi inklusif dan penuh kasih.

Didikan Tuhan: Saat Kasih-Nya Terasa Seperti Luka (Bacaan Kedua: Ibrani 12:5-7,11-13)

Sering kali, kita mengira bahwa jika kita mengikuti Tuhan, hidup akan mulus. Tapi surat Ibrani mengingatkan: "Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya." Kata "menghajar" terdengar keras, tetapi konteksnya adalah kasih. Seperti seorang ayah yang mendisiplin anaknya karena ia ingin anak itu tumbuh menjadi dewasa dan bijaksana.

Di zaman ini, banyak orang meninggalkan iman bukan karena kehilangan kebenaran, tapi karena tidak tahan dengan didikan. Mereka mengira penderitaan adalah tanda penolakan, padahal sering kali itu adalah tanda keintiman.

Bayangkan: Saat karier hancur, Tuhan mungkin sedang membebaskan kita dari penyembahan uang. Saat hubungan retak, Ia mungkin sedang mengajarkan kita arti pengampunan. Saat kita jatuh sakit, Ia mungkin sedang memaksa kita untuk berhenti dan mendengar suara-Nya.

"Semua disiplin memang pada saatnya tidak menggembirakan, tetapi menyedihkan. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai sejahtera." (Ibrani 12:11)

Mengikuti Yesus hari ini berarti menerima didikan-Nya bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai bentuk kasih yang mendalam. Kita bukan anak-anak yang dibuang, tetapi anak-anak yang dibentuk.

Bangun Kembali Jalan yang Bengkok: Jangan Biarkan Rohmu Lumpuh (Ibrani 12:12-13)

Ayat penutup surat Ibrani sangat puitis dan praktis: "Kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah, dan luruskanlah jalan bagi kakimu, supaya yang pincang jangan terpeleset, tetapi malah sembuh."

Ini adalah gambaran rohani yang kuat. Banyak dari kita berjalan dalam iman dengan "kaki yang pincang", kebiasaan dosa, trauma masa lalu, keraguan, kekecewaan terhadap gereja atau orang percaya. Tetapi Tuhan tidak meminta kita sempurna sebelum mulai berjalan. Ia berkata: "Luruskan jalanmu agar yang pincang sembuh, bukan terjatuh."

Di zaman ini, mengikuti Yesus berarti: Tidak menyerah pada kelemahan, Tidak membiarkan luka membuat kita sinis, Tapi terus memperbaiki jalan kita, langkah demi langkah, dalam pertobatan dan harapan.

Gereja bukan tempat orang sempurna, tetapi tempat para pejuang yang terus dipulihkan.

Penutup: Mengikuti Yesus di Zaman yang Memutarbalikkan Nilai

Mengikuti Yesus di tahun 2025 bukan berarti hidup dalam isolasi spiritual, tetapi berada di tengah dunia dengan hati yang setia.

Di tengah budaya instan, kita memilih kesetiaan yang lambat tapi mendalam. Di tengah budaya pembatalan, kita memilih pengampunan. Di tengah budaya pencitraan, kita memilih kerendahan hati. Di tengah budaya kecemasan, kita memilih damai sejahtera yang berasal dari kasih-Nya.

Pintu sempit masih terbuka. Didikan Tuhan masih mengalir. Panggilan-Nya masih bergema sampai ke ujung bumi.

Maka, mari kita masuk. Mari kita berjalan. Dan mari kita percaya: bahwa di balik semua kesulitan, ada tangan kasih yang membentuk kita menjadi anak-anak yang dewasa, kudus, dan penuh sukacita.

"Sebab Aku ini tahu rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku untuk kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." (Yeremia 29:11)

Selamat berjalan melalui pintu sempit. Tuhan menyertai tiap langkahmu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun