Dari Bermain Tanah Liat ke Latihan Menulis A-B-C: Ketika TK Bukan Lagi Dunia Bermain, Tapi Persiapan Ujian
Saya masih ingat betul aroma kapur batu yang menempel di jari-jari kecil saya, bunyi gemerisik kertas krepas saat membuat kolase, dan tawa riang saat guru membagi-bagikan adonan tanah liat berwarna-warni. Di kelas TK saya dulu, tidak ada lembar kerja, tidak ada ujian, bahkan tidak ada yang namanya "nilai". Yang ada hanyalah waktu panjang untuk bermain, bertanya, dan mencoba.
Sewaktu SD, Guru TK di depan sekolah kami, Bu Rina, selalu berkata, "Di sini, kamu boleh salah. Di sini, kamu boleh berantakan. Yang penting, kamu senang dan mau mencoba." Anak-anak TK belajar antre saat mengambil bekal, belajar meminta maaf saat berebut mainan, dan belajar menyanyi bersama meski suara sumbang. Itu semua disebut "belajar". Tidak ada tekanan, tidak ada target. Hanya tumbuh secara perlahan, alami, seperti tunas di musim hujan.
Dari Dunia Bermain ke Dunia Belajar Terstruktur
Tiga puluh tahun lalu, Taman Kanak-kanak (TK) benar-benar masih "taman". Tempat di mana anak-anak diajak bermain sambil belajar, bukan belajar sambil bermain. Fokus utama bukan pada penguasaan alfabet atau angka, melainkan pada pembentukan karakter, kemandirian, dan kesiapan sosial-emosional. Anak diajarkan cara berbagi, cara mengendalikan emosi, cara duduk tenang dalam kelompok, dan cara menghargai teman. Guru TK bukan pengajar materi, tapi fasilitator tumbuh kembang. Mereka lebih sering jongkok di lantai, menemani anak menyusun balok, daripada berdiri di depan papan tulis.
Namun, seiring perubahan zaman dan tuntutan pendidikan yang semakin kompetitif, wajah TK perlahan berubah. Di bawah bayang-bayang kurikulum nasional yang semakin menekankan literasi dan numerasi sejak dini (terutama dengan munculnya Kurikulum 2013 dan kini Kurikulum Merdeka) peran guru TK ikut bergeser. Mereka tidak lagi cukup hanya menjadi penjaga taman bermain. Mereka dituntut menjadi pelatih awal dalam membaca, menulis, dan berhitung. Buku aktivitas berganti dari gambar-gambar warna-warni menjadi latihan menulis huruf A sampai Z, menghubungkan titik-titik untuk membentuk huruf, dan menghitung gambar apel dari satu sampai sepuluh.
Akibatnya, banyak TK hari ini yang bentuknya mirip kelas 1 SD. Meja kecil, kursi kecil, tapi jadwal padat. Anak-anak duduk lebih lama, bermain lebih sedikit, dan dihadapkan pada tuntutan kognitif yang belum tentu sesuai dengan tahap perkembangannya.
Ketika Karakter Terdesak oleh Kompetensi
Perubahan ini lahir dari niat baik: ingin mempercepat kesiapan anak memasuki jenjang SD. Namun, ironinya, justru aspek yang paling penting dalam usia dini (pembentukan sikap, attitude, dan karakter) mulai tergerus. Padahal, di usia 4-6 tahun, otak anak sedang sangat sensitif terhadap pengalaman sosial, emosional, dan sensorik. Mereka belajar kepercayaan diri bukan dari bisa menulis nama sendiri, tapi dari dipercaya untuk menyimpan mainan sendiri. Mereka belajar empati bukan dari soal cerita, tapi dari melihat temannya menangis dan diajak memeluknya.
Ketika guru TK harus fokus pada capaian pembelajaran seperti "mampu menulis huruf kapital" atau "mengenal angka 1-20", maka waktu untuk mengasah kecerdasan emosional menjadi terbatas. Permainan peran yang dulu digunakan untuk melatih empati dan imajinasi, kini sering digantikan oleh lembar kerja. Waktu bermain bebas yang dulu menjadi ruang eksplorasi kreativitas, kini dikurangi demi sesi "latihan menulis".
Guru TK pun terjepit. Di satu sisi, mereka tahu bahwa anak usia dini butuh bermain, butuh sentuhan, butuh ruang untuk berekspresi tanpa tekanan. Di sisi lain, mereka dihadapkan pada tuntutan kurikulum, ekspektasi orang tua yang ingin anaknya "unggul sejak dini", dan sistem evaluasi yang mulai mengukur "prestasi" anak usia 5 tahun seperti halnya siswa SD.
Orang Tua, Media, dan Budaya "Cepat Pintar"
Pergeseran ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Media sosial, iklan les privat, dan narasi bahwa "anak hebat adalah anak yang bisa baca sebelum SD" telah membentuk tekanan tak kasat mata bagi orang tua, dan secara tidak langsung, bagi guru TK. Banyak orang tua kini menilai kualitas TK dari seberapa banyak anaknya bisa membaca atau menulis saat lulus, bukan dari seberapa mandiri, sabar, atau pedulinya ia terhadap lingkungan.