Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air dari Langit yang Dicuri Tanah

19 Agustus 2025   21:50 Diperbarui: 19 Agustus 2025   21:50 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Air dari Langit yang Dicuri Tanah

Desa Kembangkuning tak pernah lagi mendengar suara gemericik sungai. Sumur-sumur tua di pekarangan rumah kini hanya menyisakan lumpur kering dan akar pohon yang menjuntai seperti lidah yang kehausan. Sejak perusahaan itu membangun pabrik pengolahan mineral di lereng utara, mata air desa perlahan menghilang. Tanah retak, debu menempel di wajah, dan kulit anak-anak mulai pecah-pecah. Bahkan air hujan pun dulu dianggap tak layak, karena jatuh ke atap yang terkontaminasi, atau mengalir di jalan berlumpur hitam yang dipenuhi oli dan kotoran ternak.

Tapi semua berubah ketika Mbah Karman pulang dari kota dengan sebuah drum kosong dan buku catatan usang.

"Saya sudah tahu cara membuat air dari langit jadi lebih suci daripada air sumur," katanya, duduk di beranda rumahnya yang reyot, di tengah hujan deras yang mengguyur selama tiga hari.

Orang-orang menertawakannya. "Mbah, air hujan itu kotor! Lihat saja, mengalir di jalan, bercampur tanah, kotoran kambing, oli motor! Mau disuling jadi apa? Air surga?"

Tapi Mbah Karman tak peduli. Ia mulai dengan menampung air hujan yang jatuh di atap genteng tanah liatnya, dibersihkan dulu dengan sikat bambu dan air cuka. Talang dari pipa paralon disambung ke drum besar, tapi sebelum masuk, air melewati tiga tingkat filter: lapisan kerikil, pasir kuarsa, dan arang tempurung kelapa yang dipanggang selama dua jam.

"Ini baru tahap pertama," katanya kepada anaknya, Darto, yang memandang dengan bingung. "Air ini masih punya racun. Tapi kita bisa bersihkan."

Air dari drum pertama lalu dituang ke drum kedua, yang di dalamnya dicampur dengan daun kelor dan ekstrak kulit jeruk nipis, untuk menyerap logam berat. Setelah tiga hari, air itu berubah jernih, tapi masih bau tanah. Maka dimulailah tahap ketiga: penyulingan.

Mbah Karman membuat alat sederhana dari kaleng bekas, kaca, dan selang plastik. Air dimasak perlahan di atas tungku dari batu bata. Uapnya mengalir melalui selang, lalu mengembun di kaca yang didinginkan dengan air dari mata air yang tersisa. Setetes demi setetes, air murni jatuh ke botol kaca kecil.

"Ini bukan air biasa," bisiknya. "Ini air yang lahir dua kali."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun