Pendidikan dan Toleransi sebagai Jembatan Menuju Indonesia Emas
Delapan puluh tahun telah berlalu sejak bendera merah putih pertama kali berkibar di langit Jakarta. Delapan dekade janji kemerdekaan, delapan puluh kali kita memperingati tanggal 17 Agustus dengan upacara, lagu kebangsaan, dan semangat yang kadang terasa hampa. Tapi di tengah hiruk-pikuk perayaan, ada satu pertanyaan yang tak boleh kita hindari: Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Dan jika ya, merdeka dalam arti apa?
Bagi para pendidik yang telah mengabdi di ruang kelas selama puluhan tahun (di sekolah negeri di pinggiran kota, di desa terpencil, di pedalaman yang listriknya hanya menyala dua jam sehari) kemerdekaan bukan diukur dari jumlah gedung pencakar langit, proyek infrastruktur, atau jet tempur impor. Kemerdekaan yang hakiki diukur dari satu hal: apakah setiap anak di negeri ini bisa belajar dengan damai, tanpa takut, tanpa diskriminasi, dan dengan harapan yang sama?
Â
Pendidikan: Jembatan Emas yang Belum Sepenuhnya Dibangun
Soekarno pernah menyebut kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur. Tapi jembatan itu tidak akan pernah kokoh jika tidak dibangun di atas dua pilar utama: pendidikan dan toleransi. Keduanya bukan sekadar nilai mulia yang dihafal di buku PPKn, tapi fondasi hidup berbangsa yang harus dihidupkan setiap hari.
Pendidikan adalah kunci. Bukan hanya karena ia membuka akses ke pekerjaan, teknologi, atau kemajuan ekonomi, tapi karena ia adalah alat pembebasan. Pendidikan membebaskan manusia dari ketidaktahuan, dari kemiskinan struktural, dari mentalitas korban. Ia mengajarkan anak-anak untuk berpikir kritis, bukan hanya menghafal. Ia menanamkan rasa ingin tahu, bukan hanya takut pada nilai jelek.
Tapi lihatlah realitas hari ini. Di satu sisi, ada anak-anak di Jakarta yang belajar dengan fasilitas canggih, akses internet, guru berkualitas, dan beasiswa internasional. Di sisi lain, ada anak di Papua yang berjalan 10 kilometer ke sekolah, duduk di lantai tanpa meja, belajar di bawah tenda karena gedungnya rusak, dan gurunya hanya datang dua kali sebulan. Di satu kelas, siswa diajari coding dan AI. Di kelas lain, guru masih harus mengajar tanpa buku teks.
Ini bukan hanya ketimpangan. Ini adalah pengkhianatan terhadap janji kemerdekaan.
Pendidikan yang adil adalah bentuk kemerdekaan yang paling murni. Karena hanya melalui pendidikan, seorang anak petani bisa bermimpi menjadi ilmuwan. Hanya melalui pendidikan, seorang anak nelayan bisa memahami laut bukan hanya sebagai tempat mencari ikan, tapi sebagai ekosistem yang harus dijaga. Dan hanya melalui pendidikan, seorang anak dari suku terasing bisa merasa bahwa ia juga bagian dari Indonesia.
Tapi selama pendidikan masih menjadi hak istimewa, bukan hak dasar, maka jembatan emas itu hanya terbentang untuk segelintir orang. Sisanya? Harus berenang di lautan ketidakadilan.