Menghormati Orang Tua dan Menjaga Keluarga: Menemukan Keseimbangan dalam Memberi
Dalam perjalanan hidup, ada dua keluarga yang secara alamiah menyatu dalam hati dan tanggung jawab kita: keluarga asal (tempat kita dibesarkan oleh orang tua) dan keluarga baru yang kita bentuk sendiri melalui pernikahan. Keduanya sama-sama berharga, sama-sama membutuhkan cinta dan perhatian. Namun, di titik inilah sering muncul pertanyaan yang tak mudah dijawab: Bagaimana cara kita menghormati orang tua tanpa mengorbankan keluarga sendiri?
Terutama ketika berbicara tentang bantuan finansial, topik ini bisa menjadi sensitif. Memberi uang pada orang tua, bagi banyak orang, adalah bentuk rasa syukur, balas budi, dan tanggung jawab moral. Tapi ketika kita sudah berkeluarga, anggaran rumah tangga tak lagi hanya milik kita sendiri. Ada pasangan, ada anak-anak, ada cicilan, sekolah, dan masa depan yang harus dipikirkan. Maka, memberi pun tak bisa lagi dilakukan secara impulsif. Butuh kebijaksanaan, komunikasi, dan keseimbangan.
Menghormati Orang Tua: Bukan Hanya Soal Uang
Menghormati orang tua adalah nilai universal yang dianut hampir semua budaya dan agama di dunia. Dalam ajaran agama, baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, maupun Konfusianisme, menghormati orang tua ditempatkan sebagai perintah atau nilai utama. Di dalam Alkitab, Perjanjian Lama menyebut: "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di bumi yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu" (Keluaran 20:12) yang menjadi dasar dari sepuluh perintah Allah dalam katekese kristiani.
Dalam ajaran Buddha, orang tua bahkan disebut sebagai "brahma" (setara dengan dewa) karena jasa mereka yang tak terhingga dalam merawat, mendidik, dan melindungi anak sejak kecil. Sementara dalam budaya Timur, konsep bakti atau balas jasa begitu kuat tertanam: anak yang tidak peduli pada orang tua dianggap lupa daratan, durhaka, atau tidak berbudi.
Namun, menghormati orang tua bukan hanya soal memberi uang. Itu adalah soal perhatian, waktu, penghargaan, dan kehadiran. Seorang ibu yang tinggal sendirian mungkin lebih menangis karena anaknya datang menjenguk daripada karena menerima uang. Ayah yang sakit-sakitan mungkin lebih merasa dihargai saat anaknya duduk mendengarkan ceritanya, bukan hanya saat menerima bantuan biaya berobat.
Ketika Sudah Berkeluarga: Tanggung Jawab yang Bertambah
Setelah menikah, tanggung jawab kita bertambah. Kita bukan lagi anak yang hanya memikirkan diri sendiri atau orang tua. Kita adalah pasangan, dan mungkin juga sudah menjadi ayah atau ibu. Kita punya kewajiban terhadap pasangan, terhadap anak-anak, terhadap rumah yang harus dijaga dan masa depan yang harus dibangun.
Di sinilah dilema sering muncul. Misalnya, seorang suami ingin memberi Rp2 juta per bulan pada orang tuanya yang sakit-sakitan, sementara istrinya merasa jumlah itu terlalu besar karena mereka masih punya cicilan rumah dan tabungan pendidikan anak yang harus diisi. Atau sebaliknya, istri ingin membantu adiknya kuliah, sementara suaminya merasa keluarga inti harus jadi prioritas utama.
Tanpa komunikasi yang baik, hal-hal seperti ini bisa memicu ketegangan, bahkan konflik dalam rumah tangga.