Safir Biru untuk Lalao
Debu sisa galian tambang menempel di wajah Lalao seperti bedak tanah, mengeringkan keringat di pelipisnya. Ia berdiri di tepi Lalan-kely (jalan berlumpur yang dipadati tenda kain terpal dan gerobak kayu) sambil memegang keranjang anyaman berisi ubi panggang. Di kejauhan, suara sekop menggali tanah biru menarandra beradu dengan dentang palu besi.
Ilakaka, yang dulu hanya dusun kecil di tengah savana tandus, kini berubah menjadi kota tambang liar: laki-laki Thailand berkulit kecokelatan berteriak dalam bahasa Isan sambil mengayunkan cangkul, pekerja Bangladesh bersorban memilah kerikil di bawah terik matahari, dan pedagang lokal menjajakan vokatra (rokok daun) dengan harga selangit.
Lalao, gadis Merina berusia 19 tahun yang ayahnya tewas tertimbun longsor tambang bulan lalu, tak peduli pada gemerlap safir. Ia hanya ingin bertahan hidup. Tapi hari itu, ketika seorang laki-laki asing berdiri di depannya dengan tangan berlumpur dan mata seperti langit pasca-hujan, segalanya berubah.
"Berapa untuk ubi ini?" tanyanya dalam bahasa Malagasi patah-patah, suaranya berat dengan aksen Thailand. Ia memegang sepotong kain sarung biru, di dalamnya tersembunyi kilau batu safir sebesar kuku jari.
Lalao menggeleng. "Tidak dijual. Ini untuk keluarga."
Laki-laki itu (Aron, kata namanya) tersenyum. Esoknya, ia kembali dengan sekeranjang ikan asin dan sebutir safir biru muda yang ia gali sendiri dari lubang ke-17. "Ini untukmu," katanya, meletakkan batu itu di telapak tangan Lalao. "Di desaku, safir adalah mahar untuk wanita yang dicintai. Tapi di sini... aku hanya ingin kau tahu: kau lebih berharga dari semua batu di Ilakaka."
Lalao tertawa kecut. "Safir itu darah tanah kami. Setiap lubang yang kalian gali, roh leluhur kami menangis."
Tapi Aron tak pergi. Ia datang setiap hari, membantu Lalao menjual ubi, mengajaknya ke pasar ambalavelo (kaki lima) untuk membeli kain lamba, bahkan belajar merangkai bunga kalanchoe sebagai sesajen untuk razana (leluhur). Ia bercerita tentang desa di Ubon Ratchathani yang ditinggalkannya karena kemarau, tentang ibunya yang merajut tikar dari daun kelapa, tentang mimpinya memiliki sawah sendiri. Lalao, yang selama ini hanya mengenal lelaki Malagasi yang kasar dan terburu-buru menikah, mulai percaya: Aron bukan penambang biasa. Ia adalah rain-javatra tsy fantatra, pria yang datang dari ketidaktahuan.
Ketika musim hujan tiba, Ilakaka semakin kacau. Lubang tambang berubah menjadi kubangan lumpur, banjir menghanyutkan tenda-tenda, dan para mpamaky vary (pemilik lahan) lokal mulai berteriak: "Tanah ini bukan milik kalian! Kalian hanya menggali, lalu pergi!" Tapi Aron tetap di sisi Lalao. Ia membantunya membangun pondok baru di atas bukit, jauh dari keramaian tambang, sambil berjanji: "Aku akan bawa kau ke Thailand. Di sana, kita tanam padi, bukan safir."
Namun Lalao ragu. Malam itu, ia membawa Aron ke fady (tanah keramat di pinggir desa) tempat nenek moyangnya dikuburkan. "Lihat ini," bisiknya, menunjuk pohon ravina yang kini rebah akibat getaran mesin gali. "Darah leluhur kami ada di sini. Jika aku pergi, aku akan kehilangan aina (jiwa) milik tanah ini."