Namun, tantangan terbesar justru datang dari dalam. Jika konflik Thailand-Kamboja menjadi ajang adu pengaruh AS dan Tiongkok, maka ASEAN bisa kehilangan wajahnya. Sejarah mencatat, pada 1975--1991, konflik Kamboja-Vietnam dijadikan medan pertarungan Uni Soviet dan Tiongkok, yang akhirnya menyeret AS dan Thailand.
Hasilnya? Perang saudara yang berdarah, dan ASEAN hampir hancur. Indonesia tahu: jalan damai harus dimulai dari dalam, bukan dari tekanan eksternal.
Pengaruh Kedaulatan Negara dalam Diplomasi Regional: Analisis Mekanisme Penyelesaian Sengketa di ASEAN
Kedaulatan adalah kata sakral di Asia Tenggara. Setiap negara, besar atau kecil, mempertahankannya seperti nyawa. Itu sebabnya ASEAN dibangun di atas prinsip non-interference dan konsensus. Tapi, ketika konflik muncul, prinsip ini bisa menjadi bumerang. Bagaimana menyelesaikan sengketa jika salah satu pihak menolak dialog?
Protokol Penyelesaian Sengketa ASEAN (2010) seharusnya menjadi solusi. Ia mengatur mediasi, arbitrase, bahkan rujukan ke KTT ASEAN. Tapi, protokol ini butuh persetujuan semua pihak. Dan di situlah letak masalahnya.
Thailand bisa saja menolak, seperti yang terjadi dalam kasus Preah Vihear. Maka, Indonesia kembali berperan sebagai penengah informal, bukan karena melanggar aturan, tapi karena memahami bahwa diplomasi yang efektif sering kali terjadi di balik layar.
Indonesia mengirim diplomat senior, mengadakan pertemuan rahasia, membangun kepercayaan. Ia tidak memaksakan, tapi membujuk. Ia tidak menghakimi, tapi mendengar. Dan yang paling penting, ia menghormati kedaulatan kedua belah pihak. Dalam konflik 2011, Indonesia berhasil meyakinkan Thailand untuk menerima tim pengamat, bukan karena tekanan, tapi karena kepercayaan.
Namun, tantangan ke depan lebih besar. ASEAN butuh mekanisme yang lebih kuat, lebih independen, dan kurang tergantung pada persetujuan politik. EDSM perlu direformasi. ASEAN butuh badan penyelesaian sengketa yang tidak bisa diintervensi oleh kepentingan nasional jangka pendek. Dan Indonesia, sebagai motor ASEAN, harus menjadi pelopor perubahan ini.
Dampak Ketegangan Regional terhadap Integrasi Ekonomi dan Investasi di Kawasan ASEAN
Perang tidak hanya menghancurkan nyawa, tapi juga ekonomi. Konflik Thailand-Kamboja bukan hanya ancaman keamanan, tapi juga risiko besar bagi integrasi ekonomi ASEAN. Perdagangan antar negara anggota, yang tumbuh 15% dengan Tiongkok dan 12% dengan AS pada 2024, bisa terganggu. Rantai pasok regional (dari kelapa sawit Indonesia hingga elektronik Vietnam) bisa terputus.
Proyek besar seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), yang menjanjikan pasar bebas terbesar di dunia, bisa terancam. Jika negara-negara ASEAN terpecah oleh pengaruh eksternal, maka RCEP bisa menjadi perjanjian tanpa jiwa. Investasi asing yang mencapai $230 miliar pada 2023 bisa mengalir ke tempat lain (ke Singapura, ke India, atau ke Timur Tengah) jika kawasan ini dianggap tidak stabil.
Dan yang paling ironis: negara-negara yang seharusnya bersatu justru saling menghambat. Thailand dan Kamboja, dua mitra dagang penting, bisa saling menjatuhkan tarif, memblokir jalur perdagangan, atau menarik investasi. Padahal, masa depan ASEAN bergantung pada kerja sama, bukan konfrontasi.