Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

[politikkawasan] Indonesia di Tengah Badai Konflik Thailand-Kamboja: Diplomasi Bebas Aktif yang Menjadi Penyeimbang ASEAN

29 Juli 2025   09:45 Diperbarui: 29 Juli 2025   08:16 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber foto: tangkapan layar dari akun Youtube: @DaftarPopuler)

Indonesia di Tengah Badai Konflik Thailand-Kamboja: Diplomasi Bebas Aktif yang Menjadi Penyeimbang ASEAN

Di tengah hutan belantara Emerald Triangle yang sunyi, suara tembakan kembali menggema di perbatasan Thailand dan Kamboja. Rupanya dua "bersaudara" yang berbatasan negara ini tidak mau ketinggalan dengan apa yang dilakukan Israel dan Iran atau Rusia dan Ukraina. Kedua negera ini rupanya mau ingin perlihatkan kepada dunia bahwa mereka juga bisa berperang.

Perang ini bukan lagi sekadar perselisihan batas wilayah, melainkan konflik yang membawa aroma rivalitas besar antara dua kekuatan global, Amerika Serikat dan Tiongkok. Asia Tenggara kembali berada di ujung tanduk.

Dalam situasi seperti ini, satu suara yang tetap tenang, bijak, dan tak pernah memihak justru datang dari Nusantara: Indonesia. Bukan dengan tank atau jet tempur, melainkan dengan diplomasi, keheningan yang penuh makna, dan keberanian untuk tetap netral.

Di tengah badai geopolitik, Indonesia kembali membuktikan bahwa politik luar negeri bebas aktif bukan sekadar slogan, tapi kompas yang mampu menuntun kawasan menjauh dari jurang perang.

Konflik Thailand-Kamboja dan Relevansi ASEAN dalam Konteks Regional

Ketegangan di perbatasan Thailand dan Kamboja bukan hal baru. Sengketa atas kuil Preah Vihear--- (warisan budaya yang diakui UNESCO) telah berlangsung puluhan tahun, berulang kali memicu bentrokan bersenjata. Namun, pada 2025, konflik ini bukan lagi sekadar soal tanah dan batas.

Di baliknya, tersembunyi tarik-menarik pengaruh antara dua kekuatan besar: Amerika Serikat, yang menjalin aliansi keamanan erat dengan Thailand, dan Tiongkok, yang menjadi mitra strategis Kamboja.

Di tengah polarisasi ini, ASEAN (organisasi yang lahir dari cita-cita persatuan) terlihat goyah. Malaysia, sebagai ketua ASEAN, menyerukan pendekatan "ASEAN Way": dialog tanpa konfrontasi, konsensus, dan penghormatan terhadap kedaulatan. Namun, Kamboja lebih memilih membawa isu ini ke Dewan Keamanan PBB, sementara Thailand bersikeras menyelesaikannya secara bilateral.

Ini adalah ujian berat bagi kredibilitas ASEAN. Apakah organisasi ini masih mampu menjadi penengah, atau hanya akan menjadi penonton pasif ketika kawasannya sendiri terpecah oleh kekuatan eksternal?

Di tengah keraguan itu, satu negara terus menawarkan jalan damai: Indonesia. Bukan dengan ancaman, melainkan dengan kesabaran, diplomasi, dan komitmen pada prinsip bebas aktif.

(ribuan warga harus kembali ke negara asal mereka di kedua negara akibat perang, foto: CNBC Indonesia)
(ribuan warga harus kembali ke negara asal mereka di kedua negara akibat perang, foto: CNBC Indonesia)

Prinsip Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia: Sejarah, Implementasi, dan Tantangan Modern

Sejak 1945, politik luar negeri bebas aktif bukan hanya doktrin, tapi jati diri Indonesia. Bebas dari blok, aktif dalam perdamaian. Di masa Perang Dingin, Indonesia memilih non-blok.

Kini, di tengah persaingan AS-Tiongkok, Indonesia tetap menolak memilih pihak. Prinsip ini bukan ketakutan, melainkan strategi: menjaga kedaulatan, memperkuat posisi tawar, dan menjadi penyeimbang.

Dalam konflik Thailand-Kamboja, Indonesia kembali membuktikan peran itu. Pada 2011, ketika ketegangan memuncak, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa melakukan shuttle diplomacy (mengunjungi Bangkok dan Phnom Penh secara bergantian) untuk meredakan api yang nyaris membakar kawasan.

Hasilnya? Pembentukan Komite Perbatasan Bersama, gencatan senjata, dan pengiriman Tim Pengamat Indonesia (IOT) yang diakui oleh Mahkamah Internasional. Indonesia tidak memaksa, tidak menghakimi, hanya memfasilitasi. Dan itu berhasil.

Namun, tantangan kini lebih kompleks. Opini publik Indonesia mulai condong ke Tiongkok (74,2% responden survei 2024 lebih memercayai Beijing daripada Washington) bukan karena cinta, tapi karena kekecewaan terhadap sikap Barat yang dianggap hipokrit, terutama dalam konflik Israel-Gaza.

Di sisi lain, Indonesia terus memperkuat kerja sama ekonomi dengan Tiongkok, terutama di sektor hilirisasi mineral dan kendaraan listrik. Tapi tetap, Jakarta tidak pernah menandatangani aliansi militer. Indonesia memilih strategic multi-alignment: dekat dengan semua pihak, tetapi milik dirinya sendiri.

Peran Mediasi Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Melalui ASEAN: Analisis Historis dan Tantangan Struktural

Indonesia bukan mediator karena ingin dikenal, tapi karena merasa berkewajiban. Sebagai negara terbesar di ASEAN, dengan ekonomi dan militer terkuat, Indonesia sadar bahwa stabilitas kawasan adalah kepentingan nasional. Namun, mediasi bukanlah jaminan keberhasilan, terutama ketika ASEAN sendiri memiliki mekanisme yang lemah.

Ambil contoh Enhanced Dispute Settlement Mechanism (EDSM), alat hukum ASEAN untuk menyelesaikan sengketa. Dibandingkan WTO yang memiliki 400 staf, Sekretariat ASEAN hanya punya enam orang di divisi hukum.

Bagaimana bisa menangani konflik besar dengan kapasitas seperti itu? Belum lagi prinsip non-interference yang sering dijadikan tameng untuk tidak bertindak. Saat Kamboja mencoba mengaktifkan mediasi ASEAN, Thailand menolak. Mekanisme terhenti bukan karena aturan, tapi karena politik.

Di sinilah peran Indonesia menjadi unik. Bukan menunggu mekanisme formal, Indonesia mengambil inisiatif. Seperti pada 2011, ketika Indonesia mengirim tim pengamat meskipun tidak ada kewajiban hukum. Ini bukan pelanggaran kedaulatan, tapi bentuk tanggung jawab kolektif. Indonesia memahami bahwa dalam dunia nyata, perdamaian tidak lahir dari dokumen, tapi dari keberanian untuk mengambil langkah pertama.

Namun, tantangan terbesar justru datang dari dalam. Jika konflik Thailand-Kamboja menjadi ajang adu pengaruh AS dan Tiongkok, maka ASEAN bisa kehilangan wajahnya. Sejarah mencatat, pada 1975--1991, konflik Kamboja-Vietnam dijadikan medan pertarungan Uni Soviet dan Tiongkok, yang akhirnya menyeret AS dan Thailand.

Hasilnya? Perang saudara yang berdarah, dan ASEAN hampir hancur. Indonesia tahu: jalan damai harus dimulai dari dalam, bukan dari tekanan eksternal.

(sumber: CNN Indonesia)
(sumber: CNN Indonesia)

Pengaruh Kedaulatan Negara dalam Diplomasi Regional: Analisis Mekanisme Penyelesaian Sengketa di ASEAN

Kedaulatan adalah kata sakral di Asia Tenggara. Setiap negara, besar atau kecil, mempertahankannya seperti nyawa. Itu sebabnya ASEAN dibangun di atas prinsip non-interference dan konsensus. Tapi, ketika konflik muncul, prinsip ini bisa menjadi bumerang. Bagaimana menyelesaikan sengketa jika salah satu pihak menolak dialog?

Protokol Penyelesaian Sengketa ASEAN (2010) seharusnya menjadi solusi. Ia mengatur mediasi, arbitrase, bahkan rujukan ke KTT ASEAN. Tapi, protokol ini butuh persetujuan semua pihak. Dan di situlah letak masalahnya.

Thailand bisa saja menolak, seperti yang terjadi dalam kasus Preah Vihear. Maka, Indonesia kembali berperan sebagai penengah informal, bukan karena melanggar aturan, tapi karena memahami bahwa diplomasi yang efektif sering kali terjadi di balik layar.

Indonesia mengirim diplomat senior, mengadakan pertemuan rahasia, membangun kepercayaan. Ia tidak memaksakan, tapi membujuk. Ia tidak menghakimi, tapi mendengar. Dan yang paling penting, ia menghormati kedaulatan kedua belah pihak. Dalam konflik 2011, Indonesia berhasil meyakinkan Thailand untuk menerima tim pengamat, bukan karena tekanan, tapi karena kepercayaan.

Namun, tantangan ke depan lebih besar. ASEAN butuh mekanisme yang lebih kuat, lebih independen, dan kurang tergantung pada persetujuan politik. EDSM perlu direformasi. ASEAN butuh badan penyelesaian sengketa yang tidak bisa diintervensi oleh kepentingan nasional jangka pendek. Dan Indonesia, sebagai motor ASEAN, harus menjadi pelopor perubahan ini.

Dampak Ketegangan Regional terhadap Integrasi Ekonomi dan Investasi di Kawasan ASEAN

Perang tidak hanya menghancurkan nyawa, tapi juga ekonomi. Konflik Thailand-Kamboja bukan hanya ancaman keamanan, tapi juga risiko besar bagi integrasi ekonomi ASEAN. Perdagangan antar negara anggota, yang tumbuh 15% dengan Tiongkok dan 12% dengan AS pada 2024, bisa terganggu. Rantai pasok regional (dari kelapa sawit Indonesia hingga elektronik Vietnam) bisa terputus.

Proyek besar seperti RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), yang menjanjikan pasar bebas terbesar di dunia, bisa terancam. Jika negara-negara ASEAN terpecah oleh pengaruh eksternal, maka RCEP bisa menjadi perjanjian tanpa jiwa. Investasi asing yang mencapai $230 miliar pada 2023 bisa mengalir ke tempat lain (ke Singapura, ke India, atau ke Timur Tengah) jika kawasan ini dianggap tidak stabil.

Dan yang paling ironis: negara-negara yang seharusnya bersatu justru saling menghambat. Thailand dan Kamboja, dua mitra dagang penting, bisa saling menjatuhkan tarif, memblokir jalur perdagangan, atau menarik investasi. Padahal, masa depan ASEAN bergantung pada kerja sama, bukan konfrontasi.

Di sinilah peran Indonesia menjadi krusial. Dengan ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia bisa menjadi penyangga. Dengan diplomasi bebas aktif, Indonesia bisa menjadi jembatan. Dan dengan komitmen pada integrasi, Indonesia bisa mendorong negara-negara lain untuk memilih perdamaian daripada profit jangka pendek.

(perang Kamboja-Thailand, sumber: rakyatpembaruan)
(perang Kamboja-Thailand, sumber: rakyatpembaruan)

Dampak Hankam bagi Kawasan ASEAN: Stabilitas Keamanan Regional dalam Lima Tahun Terakhir

Keamanan kawasan kini bukan hanya soal tentara dan senjata, tapi juga soal kepercayaan. Laut Cina Selatan yang memanas, krisis Myanmar yang tak kunjung usai, dan kini konflik Thailand-Kamboja, semua ini menggerus kepercayaan antar negara ASEAN. Peningkatan anggaran militer Tiongkok hingga $246,5 miliar pada 2025 bukan hanya angka, tapi sinyal: kawasan ini sedang diperebutkan.

Indonesia, dengan kekuatan militernya, tidak sekadar menjaga wilayahnya, tapi juga menjaga keseimbangan. Melalui latihan bersama seperti Komodo Exercise dan ASEAN Armies Rifle Meet, Indonesia membangun kepercayaan dengan negara-negara tetangga. Melalui modernisasi Minimum Essential Force (MEF), Indonesia menunjukkan bahwa ia siap menjaga kedaulatan, bukan untuk menyerang, tapi untuk mencegah perang.

Tapi, militer bukan solusi utama. Solusi utama adalah diplomasi. Dan di situlah Indonesia unggul. Bukan karena punya senjata paling canggih, tapi karena punya keberanian untuk tetap diam di tengah hiruk-pikuk, dan berbicara di saat semua orang berteriak.

Peran Indonesia dalam Konflik Thailand-Kamboja dan Dampaknya bagi Kawasan ASEAN

Jika mediasi gagal, dampaknya akan meluas. Ekonomi ASEAN bisa melambat. Investasi bisa mengalir keluar. Ketegangan militer bisa memicu perlombaan senjata. Dan yang paling berbahaya: ASEAN bisa kehilangan relevansinya. Di tengah dunia yang semakin tidak stabil, kawasan ini butuh penengah, bukan penonton.

Indonesia tahu itu. Maka, langkah-langkahnya harus jelas: terus dorong dialog, perkuat mekanisme ASEAN, dan jaga netralitas. Indonesia bukan musuh siapa-siapa, tapi sahabat semua pihak. Dan justru karena itu, ia dipercaya.

Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mengatakan: "Kita tidak mencari musuh, kita mencari teman." Di tengah konflik Thailand-Kamboja, kalimat itu bukan sekadar retorika. Ia adalah kompas. Dan selama kompas itu masih berputar, harapan untuk perdamaian di Asia Tenggara tetap hidup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun