Ketiga kondisi ini seringkali membuat anak merasa "berbeda", bahkan "tertinggal". Tapi justru di sinilah peran penting seorang guru: bukan hanya mengajar, tapi juga memahami, menerima, dan membantu anak menemukan caranya sendiri untuk belajar.
Dan kini, di era Kurikulum Merdeka, kita diberikan ruang dan kesempatan untuk melakukan hal itu dengan lebih leluasa. Kurikulum yang menekankan pada pembelajaran mendalam (deep learning), kemerdekaan berpikir, dan pengembangan kompetensi sesuai potensi masing-masing siswa, menjadi fondasi yang kuat untuk mendukung anak-anak dengan dyslexia  dysgraphia, dan dyscalculia.
Bagaimana Guru Mengatasi Kesulitan Ini dalam Konsep Pembelajaran Mendalam?
Dalam konsep pembelajaran mendalam di bawah naungan Kurikulum Merdeka, guru memiliki peran kunci dalam membantu siswa dengan dyslexia, dysgraphia, dan dyscalculia. Dengan pendekatan yang lebih personal dan inklusif, guru tidak hanya mengajar, tapi juga memahami kebutuhan unik setiap siswa, memanfaatkan strategi multisensori, memberikan fleksibilitas dalam penilaian, menciptakan lingkungan kelas yang aman, serta menjalin kolaborasi dengan orang tua dan ahli.Â
Langkah-langkah berikut ini ini menjadi fondasi kuat bagi pembelajaran yang tidak hanya mendalam, tapi juga berpihak pada setiap potensi yang dimiliki oleh setiap anak.
Pertama, Mengenal dan Memahami Karakteristik Setiap Siswa. Pembelajaran mendalam dimulai dari memahami siapa siswa kita. Dengan mengenali kekuatan dan tantangan masing-masing anak, guru bisa merancang strategi pembelajaran yang lebih personal dan inklusif.
Kedua, Menggunakan Pendekatan Multisensori. Anak dengan gangguan belajar sering kali lebih mudah memahami konsep melalui pengalaman langsung. Misalnya, anak dengan dyscalculia bisa belajar konsep angka melalui alat peraga seperti blok atau uang mainan. Anak dengan dyslexia bisa dibantu dengan audio atau visualisasi bacaan.
Ketiga, Memberikan Fleksibilitas dalam Penilaian. Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan bagi guru untuk menilai siswa tidak hanya melalui tes tertulis, tapi juga proyek, presentasi, atau penilaian berbasis kinerja. Ini adalah angin segar bagi anak dengan dysgraphia, yang mungkin lebih baik mengekspresikan ide melalui suara atau gambar.
Keempat, Membangun Lingkungan Kelas yang Mendukung dan Aman. Anak dengan gangguan belajar membutuhkan lingkungan yang tidak menyalahkan, tidak membandingkan, dan tidak membuat mereka merasa "cacat". Sebaliknya, mereka butuh suasana kelas yang mendukung kepercayaan diri dan semangat untuk terus mencoba.
Kelima, Kolaborasi dengan Orang Tua dan Ahli. Guru bisa bekerja sama dengan orang tua, psikolog, atau ahli pendidikan khusus untuk merancang strategi pembelajaran yang tepat. Dengan kolaborasi ini, anak bisa mendapatkan dukungan yang konsisten antara sekolah dan rumah.
Inspirasi dari Perbedaan
Banyak tokoh hebat dunia yang ternyata memiliki dyslexia, seperti Albert Einstein, Leonardo da Vinci, dan Agatha Christie. Mereka mungkin kesulitan membaca, tapi justru mampu melihat dunia dengan cara yang unik dan kreatif.