Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lebih Dekat dengan Dyslexia, Dysgraphia, dan Dyscalculia

19 Juli 2025   13:06 Diperbarui: 19 Juli 2025   13:06 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Lebih Dekat dengan Dyslexia, Dysgraphia, dan Dyscalculia: Memahami Perbedaan dalam Belajar dan Peran Guru dalam Membangun Kepercayaan Diri di Era Kurikulum Merdeka

Masih tentang hari pertama masuk sekolah. Saya ingin memperkenalkan tiga istilah berikut yang mungkin pernah kita dengar atau baca. Ini hanya untuk menyegarkan kembali ingatan agar jika guru atau orang berhadapan dengan "ketiga" orang dengan gangguan ini, bukan lagi sebuah masalah, tetapi tantangan untuk memberikan yang terbaik.

Dalam dunia pendidikan, tidak semua anak belajar dengan cara yang sama. Ada yang dengan mudah membaca buku dan memahami isinya, ada yang lancar menulis dengan tangan rapi, dan ada yang cepat memahami angka dan logika matematika. Tapi, ada juga anak-anak yang menghadapi tantangan unik, bukan karena kurang pintar atau tidak berusaha, melainkan karena otak mereka bekerja dengan cara yang berbeda.

Tiga kondisi yang sering muncul dalam pembicaraan tentang perbedaan belajar adalah dyslexia, dysgraphia, dan dyscalculia. Meskipun berbeda dalam fokusnya, ketiganya memiliki satu kesamaan: mereka adalah gangguan belajar spesifik yang bersifat neurologis, bukan refleksi dari kemampuan intelektual seseorang. Mari kita kenali lebih dekat masing-masing dari mereka.

Dyslexia: Dunia Huruf yang Terasa Berputar

Dyslexia berasal dari bahasa Yunani dys- (sulit) dan lexis (kata), yang secara harfiah berarti "kesulitan dengan kata". Anak dengan dyslexia mungkin mengalami kesulitan dalam membaca, mengeja, dan memahami struktur bahasa, meskipun mereka memiliki kecerdasan rata-rata atau di atas rata-rata.

Mereka bisa melihat huruf seperti "b" dan "d" sebagai kembar yang sulit dibedakan, atau merasa kata-kata "berputar" saat membaca. Namun, di balik tantangan ini, banyak anak dengan dyslexia yang memiliki daya pikir kreatif dan imajinasi yang luar biasa.

Dysgraphia: Tantangan Menulis di Balik Kertas

Dysgraphia juga berasal dari bahasa Yunani, dys- (sulit) dan graphia (menulis). Ini adalah gangguan belajar yang memengaruhi kemampuan menulis secara terstruktur dan jelas. Bukan sekadar tulisan tangan yang berantakan, tapi juga kesulitan dalam mengorganisasi pikiran dalam bentuk tulisan, mengingat ejaan, atau mengkoordinasikan gerakan tangan saat menulis.

Anak dengan dysgraphia mungkin tahu jawabannya, tapi kesulitan menuliskannya. Mereka mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikan soal esai, atau tulisan mereka tampak tidak teratur meskipun sudah berusaha sebaik mungkin.

Dyscalculia: Ketika Angka Menjadi Misteri

Dyscalculia berasal dari kata dys- (sulit) dan calculia (berhitung), yang secara harfiah berarti "kesulitan dalam berhitung". Ini adalah kondisi yang memengaruhi kemampuan seseorang dalam memahami angka, konsep matematika dasar, dan logika kuantitatif.

Anak dengan dyscalculia mungkin kesulitan memahami nilai angka, mengingat fakta matematika seperti 5 + 3 = 8, atau bahkan memahami jam dan uang. Bukan karena tidak belajar atau tidak cerdas, tapi karena otak mereka memproses informasi numerik dengan cara yang berbeda.

Perbedaan Bukan Kekurangan, tapi Potensi yang Perlu Digali

Ketiga kondisi ini seringkali membuat anak merasa "berbeda", bahkan "tertinggal". Tapi justru di sinilah peran penting seorang guru: bukan hanya mengajar, tapi juga memahami, menerima, dan membantu anak menemukan caranya sendiri untuk belajar.

Dan kini, di era Kurikulum Merdeka, kita diberikan ruang dan kesempatan untuk melakukan hal itu dengan lebih leluasa. Kurikulum yang menekankan pada pembelajaran mendalam (deep learning), kemerdekaan berpikir, dan pengembangan kompetensi sesuai potensi masing-masing siswa, menjadi fondasi yang kuat untuk mendukung anak-anak dengan dyslexia  dysgraphia, dan dyscalculia.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Bagaimana Guru Mengatasi Kesulitan Ini dalam Konsep Pembelajaran Mendalam?

Dalam konsep pembelajaran mendalam di bawah naungan Kurikulum Merdeka, guru memiliki peran kunci dalam membantu siswa dengan dyslexia, dysgraphia, dan dyscalculia. Dengan pendekatan yang lebih personal dan inklusif, guru tidak hanya mengajar, tapi juga memahami kebutuhan unik setiap siswa, memanfaatkan strategi multisensori, memberikan fleksibilitas dalam penilaian, menciptakan lingkungan kelas yang aman, serta menjalin kolaborasi dengan orang tua dan ahli. 

Langkah-langkah berikut ini ini menjadi fondasi kuat bagi pembelajaran yang tidak hanya mendalam, tapi juga berpihak pada setiap potensi yang dimiliki oleh setiap anak.

Pertama, Mengenal dan Memahami Karakteristik Setiap Siswa. Pembelajaran mendalam dimulai dari memahami siapa siswa kita. Dengan mengenali kekuatan dan tantangan masing-masing anak, guru bisa merancang strategi pembelajaran yang lebih personal dan inklusif.

Kedua, Menggunakan Pendekatan Multisensori. Anak dengan gangguan belajar sering kali lebih mudah memahami konsep melalui pengalaman langsung. Misalnya, anak dengan dyscalculia bisa belajar konsep angka melalui alat peraga seperti blok atau uang mainan. Anak dengan dyslexia bisa dibantu dengan audio atau visualisasi bacaan.

Ketiga, Memberikan Fleksibilitas dalam Penilaian. Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan bagi guru untuk menilai siswa tidak hanya melalui tes tertulis, tapi juga proyek, presentasi, atau penilaian berbasis kinerja. Ini adalah angin segar bagi anak dengan dysgraphia, yang mungkin lebih baik mengekspresikan ide melalui suara atau gambar.

Keempat, Membangun Lingkungan Kelas yang Mendukung dan Aman. Anak dengan gangguan belajar membutuhkan lingkungan yang tidak menyalahkan, tidak membandingkan, dan tidak membuat mereka merasa "cacat". Sebaliknya, mereka butuh suasana kelas yang mendukung kepercayaan diri dan semangat untuk terus mencoba.

Kelima, Kolaborasi dengan Orang Tua dan Ahli. Guru bisa bekerja sama dengan orang tua, psikolog, atau ahli pendidikan khusus untuk merancang strategi pembelajaran yang tepat. Dengan kolaborasi ini, anak bisa mendapatkan dukungan yang konsisten antara sekolah dan rumah.

Inspirasi dari Perbedaan

Banyak tokoh hebat dunia yang ternyata memiliki dyslexia, seperti Albert Einstein, Leonardo da Vinci, dan Agatha Christie. Mereka mungkin kesulitan membaca, tapi justru mampu melihat dunia dengan cara yang unik dan kreatif.

Demikian juga dengan anak-anak di kelas kita. Mereka mungkin mengalami tantangan dalam membaca, menulis, atau berhitung, tapi itu tidak mengurangi potensi mereka untuk menjadi pemimpin, pencipta, atau inovator masa depan.

Yang mereka butuhkan adalah guru yang percaya pada mereka. Guru yang tidak hanya mengajar, tapi juga menginspirasi. Guru yang melihat perbedaan bukan sebagai hambatan, tapi sebagai jendela menuju cara belajar yang lebih beragam dan mendalam.

Penutup: Menuju Pendidikan yang Lebih Inklusif

Dyslexia, dysgraphia, dan dyscalculia bukanlah batas. Mereka adalah bagian dari keragaman manusia, dan dalam keragaman itulah pendidikan sejati hadir. Dengan Kurikulum Merdeka, kita memiliki kesempatan untuk membuka pintu lebih lebar, memberikan ruang lebih luas, dan menciptakan sekolah sebagai tempat aman bagi semua anak untuk tumbuh dan berkembang.

Karena pendidikan yang merdeka adalah pendidikan yang tidak hanya mengajarkan angka, huruf, atau kata, tapi juga membuka hati untuk menerima perbedaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun