Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Catatan Yang Dihapus

12 Juli 2025   07:35 Diperbarui: 12 Juli 2025   07:35 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Catatan yang Dihapus

Sebagai salah seorang yang sudah mengerti tentang sejarah kelam di masa-masa akhir orde baru, rencana penulisan ulang buku sejarah terutama tragedi kemanusiaan paling memalukan di akhir-akhir tahun 1990-an, saya merasa gemas dan greget.

Kegemasan saya lebih mengarah ke rasa marah, atas upaya yang dengn sengaja coba dibangun oleh Fadli Zon selaku menteri kebudayaan. Sebagai manusia berbudi dan berbudaya, upaya semacam ini hanya mau memperlihatkan sikap nir simpatik apalagi empati kepada para korban. Miris!

Menanggapi upaya itu, saya meluapkan kegusaran itu dalam puisi tiga bait berikut ini dan ulasan setelahnya. Tentu tulisan ini tidak bisa mewakili perasaan para korban tragedi itu. Ini hanya sebuah upaya untuk merangkul dalam kasih dan simpati kepada mereka. RIP bagi mereka yang sudah meninggal. Dan terimalah pelukan peneguhan untuk mereka yang masih hidup. Sejarah tidak bisa "memutihkan" noda hitam nan legam dalam hidup Anda.

Saya mencoba "mengalirkan" kegundahan saya dalam puisi yang berjudul CATATAN YANG DIHAPUS berikut ini:

Di sudut gelap lemari sejarah,
tertumpuk dokumen-dokumen basah:
kesaksian yang tak sempat dibaca,
nama-nama yang terhapus dalam sunyi.
Kata "pemerkosaan" dicoret tinta merah,
diganti dengan angka-angka kerusuhan:
"tidak terjadi," kata mereka yang duduk di kursi empuk.

Para korban hanya suara serak di radio usang,
didengar, tapi tidak didengarkan.
Pernyataannya dilipat rapi ke dalam amandemen,
di bawah sorot lampu televisi nasional,
di mana fakta dibungkus iklan dan sinetron.
Sejarawan menjadi penulis naskah ulang tahun,
dan rakyat hanya penonton tanpa suara.


Menteri bicara tentang "penulisan ulang",
seolah masa lalu bisa direkayasa seperti film politik.
Tapi sejarah bukan skrip sandiwara:
ia adalah luka yang menganga,
darah yang tak bisa dikeringkan oleh retorika.
Jika kau hapus pemerkosaan dari ingatan bangsa,
maka kau biarkan pelaku mencabuli kembali
di hati generasi yang tak pernah tahu apa itu keadilan.

Puisi "Catatan yang Dihapus" membuka mata kita pada upaya sistematis untuk mengaburkan, bahkan menghilangkan, fakta-fakta sejarah yang menyakitkan. Bait pertama langsung menyuguhkan gambaran metaforis tentang bagaimana sejarah yang tidak menyenangkan seringkali dikubur dalam-dalam: bukan karena tidak penting, tetapi justru karena terlalu berbahaya untuk diingat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun