Lemari sejarah bukan lagi tempat penyimpanan kebenaran, melainkan ruang penyensoran yang penuh dengan dokumen basah, kesaksian yang tak sempat dibaca dan suara korban yang dibiarkan memudar. Kata "pemerkosaan" yang akan dicoret menunjukkan bagaimana trauma perempuan, khususnya korban kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998, sengaja dihapus dari narasi resmi demi menjaga citra atau kepentingan politik tertentu.
Bait kedua puisi ini menegaskan betapa lemahnya posisi korban dalam proses penulisan ulang sejarah. Suara mereka hanya seperti siaran radio usang: didengar, tapi tidak didengarkan. Di tengah gempuran media massa yang lebih mementingkan rating daripada fakta, kesaksian para korban terseret dalam arus iklan, sinetron, dan agenda politik.
Sejarawan, yang semestinya menjadi penjaga ingatan kolektif, pun ikut terperangkap dalam permainan kekuasaan, menjadi penulis naskah ulang tahun bagi penguasa. Sementara rakyat, yang seharusnya menjadi subjek utama dalam sejarah bangsanya sendiri, hanya bisa menjadi penonton pasif tanpa suara.
Bait ketiga merupakan klimaks kritik puisi ini. Secara pribadi penulis menolak gagasan dangkal tentang "penulisan ulang sejarah" yang digaungkan oleh pejabat negara. Menteri bicara tentang rekonsiliasi, tapi metodenya seperti produksi film politik: dengan skenario yang sudah ditulis sebelumnya, dan akting yang dibayar mahal.
Rekonsiliasi itu mengutamakan korban, bukan pelaku apalagi orang lain yang berusaha mengaburkan kebenaran yang sudah pernah dinarasikan oleh tim pencari fakta sekian tahun yang lalu. Rekonsiliasi itu untuk membalut luka korban agar bisa berjalan tegak lagi, karena kemanusiaan direngkuh kembali, bukan demi kepentingan pelaku apalagi penguasa yang berusaha mengaburkan.
Sejarah bukan sandiwara. Ia adalah luka yang nyata, darah yang tumpah, dan trauma yang tak kunjung sembuh. Ketika pemerkosaan massal dihapus dari ingatan nasional, maka pelaku secara simbolis diberi ruang untuk mencabuli kembali, kali ini dalam bentuk penyangkalan dan pengingkaran.
Melalui puisi ini juga penulis ingin mengingatkan bahwa sejarah adalah tanggung jawab moral sebuah bangsa. Ia tidak boleh dijadikan alat legitimasi kekuasaan atau proyek politik sesaat. Penghapusan fakta-fakta traumatis, seperti pemerkosaan massal tahun 1998, bukan hanya merugikan korban, tetapi juga merusak integritas nasional, menutup kekelaman dengan tirau yang juga kusam dan kelam. Akhirnya kita tidak bisa bangkit dari masa lalu yang telah menjadi borok bernanah.
Jika sebuah bangsa tidak berani menghadapi masa lalunya, maka ia akan terus hidup dalam bayang-bayang penyangkalan. Sejarah yang tidak jujur akan melahirkan generasi yang tidak tahu arti keadilan, yang tidak paham makna empati, dan yang mudah diperalat oleh narasi-narasi palsu.
Akhirnya, puisi ini adalah seruan untuk bangkit. Ia mengajak kita semua -sejarawan, pendidik, aktivis, seniman, hingga warga biasa- untuk melindungi sejarah sebagai warisan moral yang tak ternilai.
Penulisan ulang sejarah harus dilakukan dengan rendah hati, telinga yang terbuka, dan komitmen pada kebenaran. Karena sejarah yang jujur adalah sejarah yang berkeadilan. Dan hanya dengan itu, sebuah bangsa bisa maju tanpa terus-menerus dibayangi oleh luka yang tidak pernah disembuhkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI