Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Membangun Resiliensi di Tengah Broken Home

18 Juni 2025   07:38 Diperbarui: 18 Juni 2025   07:56 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi anak korban broken home, sumber: koranpadang)

Ketika Rumah Retak, Hati Anak Tetap Kuat: Membangun Resiliensi di Tengah Broken Home

Dalam sebuah rumah tangga yang retak karena perceraian atau konflik berkepanjangan, anak-anak sering kali menjadi pihak yang paling terluka. Di tengah kebingungan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa untuk menghadapi kenyataan hidup yang tidak mudah - rumah yang dulu penuh tawa kini terasa sunyi, kasih sayang yang utuh mulai terpecah, dan stabilitas emosional mulai goyah.

Namun, di balik kesedihan itu, ada kekuatan luar biasa yang perlahan tumbuh dalam diri mereka: resiliensi. Lewat artikel ini saya mengajak pembaca untuk memahami bagaimana anak-anak korban broken home berjuang melawan rasa sakit batinnya, serta upaya apa saja yang bisa dilakukan oleh keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk membantu mereka tetap tegak, meski dunia mereka sempat runtuh.

 

Duka yang Tersembunyi di Balik Perceraian

Bayangkan seorang siswa kelas X duduk sendirian di pojok kelas setelah pulang dari sekolah. Di buku catatannya, ia menulis satu kalimat sederhana namun menyayat hati: "Aku ingin menghilang... rumahku sudah tidak seperti rumah lagi."

Ini adalah kisah nyata dari salah satu dari ratusan ribu anak Indonesia yang menjadi korban broken home . Di tengah usia yang masih labil dan rentan, mereka dipaksa untuk menghadapi realitas hidup yang berat - keluarga yang hancur, orang tua yang bercerai, dan kehidupan yang tiba-tiba terasa tidak stabil.

Menurut data Kementerian Agama RI tahun 2024, terdapat lebih dari 251.828 kasus perceraian dalam satu tahun. Angka ini bukan hanya angka statistik biasa, tetapi juga cerminan dari trauma yang dialami oleh jutaan anak di seluruh negeri. Banyak dari mereka yang merasa tersesat, bingung harus memilih siapa yang akan didukung, dan bahkan ada yang sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya karena tidak sanggup menerima kenyataan.

Namun, dari tengah kesedihan itu, muncul kisah-kisah luar biasa tentang ketahanan jiwa - tentang bagaimana anak-anak ini perlahan belajar bangkit, menemukan kekuatan baru, dan mencoba melanjutkan hidup dengan kepala tegak.

(sumber gambar: wajibbaca)
(sumber gambar: wajibbaca)

Dampak Emosional dan Psikologis: Luka Tak Terlihat yang Menganga

Saat orang tua memilih untuk berpisah, dampaknya tidak hanya terasa secara ekonomi, tetapi lebih dalam lagi: pada psikologi anak. Sebuah penelitian oleh Andi Kustanto dkk. (2025) menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga broken home lebih rentan mengalami depresi, kecemasan, rendah diri, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri jika tidak mendapatkan dukungan emosional yang cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun